14[Cinta Dalam Diam]

2.7K 120 0
                                    

~Selamat Membaca~

Meski terasa berat, Rury tetap berusaha membuka matanya, “Ya Allah, ini dimana?”

Matanya menjelahi seisi ruangan, berkali-kali Rury mengingat namun dirinya belum bisa mengenali tempat itu.

“Ini tanganku, tanganku kenapa di ikat?” Ucap Rury saat berniat memegangi kepalanya yang masih pusing.

“Memang kenapa kalau tangan lo di iket?” Rury mendengar suara seorang wanita dari balik badannya.

karena penasaran Rury menengok asal suara itu, “Lina, kamu?” Begitu terkejutnya Rury saat mendapati Lina berada disampingnya.

“Kenapa? Lo kaget? Seharusnya lo gak perlu berekasi berlebihan kayak gini, Tuan Putri.”

“Maksud kamu apa, Lin?”

Lina tertawa dengan cukup keras, “Pura-pura polos? Gue tahu, Kak Reza udah bongkar semuanya. Lo apain Kakak gue sampe kayak gitu? Lo bodohin dia, sampe dia lebih bela lo dari pada gue dan Papa. Lo permainin hati Kak Reza, gue gak akan terima kalo Kakak gue sedih karena patah hati, dan itu juga cuman gara-gara cewek kayak lo.”

“Apa maksud Lina? Apa maksudnya permainin hati Kak Reza dan buat dia sakit hati?” tanya Rury dalam hati kecilnya.

“Cukup Lin, berikan kesempatan untuk gadis ini bernafas.”

Pandangan Rury teralih pada seorang laki-laki yang baru saja datang, “Anda ini Pak Zam?”

“Gadis pintar.” Lelaki itu menepuk kepala Rury dengan perlahan, “Ya, saya Zam. Zamrudin, orang yang seharusnya kamu benci.”

“Kenapa? Apa karena Anda menjadikan saya sasaran dari rencana Anda?”

“Itu alasan yang kedua.”

“Lalu, kenapa?”

Pak Zam menarik dagu Rury, “Karena saya adalah orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Ayah kamu.”

Senyum membunuh kini tampak dari wajah Pak Zam.

Deg

“Ayah?” Hati Rury terasa seperti tersayat ketika mendengar kebenaran itu.

“Kenapa? Kau terkejut?”

Entah mengapa pertanyaan bodoh keluar bisa keluar dari mulut lelaki jahat itu. Rury tidak bisa membendung air matanya.

“Ohhh, jadi Dimas belum menceritakan hal ini padamu. Seharusnya dia atau Bundamu menceritakan semuanya, kau ini kan anaknya, dan kau punya hak untuk mengetahui kematian Ayahmu. Bukan begitu, Rury?”

*****

“Bunda.” Bayu langsung mendekap Bu Rani yang tengah menangis di kursi tunggu.

Reza menepuk bahu kanan Pak Dimas, “Pa, Papa gak papa?”

Pak Dimas menengadahkan kepalanya, “Ini salah Papa, seharusnya Papa bisa jaga Rury.”

“Apa ini ulah Pak Zam?”

Pak Dimas mengangguk dan memberikan secarik kertas berwarna putih yang terlipat pada Reza tanpa mengatakan sepatah katapun.

“Bacakan isinya, Kak!” Ucap Bayu masih mendekap tubuh Bu Rani.

Reza membuka kertas itu dan membaca isinya dengan cukup keras sesaui perintah Bayu, “Kalian tenang saja. Rury berada ditangan yang tepat. Saat waktunya tiba, aku akan beri tahu dimana Rury. Tertanda Zam.”

“Dimana Papa temukan kertas itu?” Tanya Bayu

Pandangan Pak Dimas melekat pada keramik lantai Rumah Sakit, “Di meja samping ranjang Rury.”

“Apa yang akan lelaki itu lakukan? Rury masih belum sehat, dia masih lemas.” Tangis Bu Rani semakin menjadi.

Bayu berusaha menenangkan Bu Rani, “Bunda harus tenang. Rury itu gadis yang kuat. Bayu yakin Rury akan baik-baik saja.”

Bayu bisa merasakan tubuh Bu Rani tiba-tiba lemas, dengan sigap ia menopang kepala Bu Rani agar tidak membentur dinding Rumah Sakit.

“Bun! Bunda bangun, Bun!” Bayu menepuk pipi Bu Rani, berusaha menyadarkannya.

Pak Dimas berdiri dan membuka pintu kamar rawat Rury, “Bawa masuk, Bay!”

Bayu pun menggendong Bu Rani dan membaringkannya dengan perlahan.

Pak Dimas mengikuti langkah Bayu namun sebelum menutup pintu ia berkata kepada Reza, Bu Ika dan Bu Titi, “Kalian tunggu diluar saja, biar saya periksa keadaan Rani.”

“Tapi Pa,”

“Sudahlah Za, turuti saja ucapan Papamu.” Jawab Bu Ika yang tidak membiarkan Reza menyelesaikan kalimatnya.

Reza pun mengalah dan duduk ditengah-tengah kedua wanita yang ia anggap ibunya.

Bu Titi menyenderkan kepalanya di bahu Reza, “Kenapa Papamu melakukan ini pada gadis sebaik Rury, Za? Dan kenapa Papamu melibatkan Lina dalam rencana jahatnya?”

“Bu, Ibu harus kuat. Reza bisa minta tolong ke Ibu?”

Bu Titi mengangguk, “Apa itu, Za?”

“Ibu gak boleh nangis, Ibu harus tenang. Bu Rani butuh dukungan dari kita semua.”

“Ibu memang belum lama kenal dengan Bu Rani, tapi Ibu tahu rasanya kehilangan seorang anak.”

Reza mengenggam tangan Ibu kandungnya yang masih bersandar dibahunya, namun matanya mengarah pada Bu Ika.

Bu Ika terkejut saat merasakan ada tangan yang mengenggam tangannya, ia langsung melirik pada Reza dan berusaha menghapus air matanya.

“Maaf, Za. Mama belum bisa menerima kalau kamu membagi cintamu pada Titi, yang jelas-jelas ibu kandungmu.” Batin Bu Ika.

Seakan mengerti isi hati Bu Ika, Reza mengangguk dan tersenyum.

Cinta Dalam Diam [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang