Dua: Sepasang Sneakers

134 8 1
                                    

Desember, 2019

"Sil, sepertinya Carrolline tidak memimum obat yang ku berikan. Kondisinya memburuk. Jika hal ini terus berlanjut, kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuknya."

...

Penggalan kalimat yang dituturkan oleh Dokter Grizelle, atau yang lebih akrab disapa Olin dengan panggilan Aunty Gee 5 menit yang lalu masih mengusik pikiran Olin.

Saat ini ia sedang berada di lobi rumah sakit, menunggu tantenya yang beberapa saat lalu berpamitan akan ke kamar kecil karena perutnya mendadak sakit.

"Harus bersiap untuk kemungkinan terburuk? Apa maksudnya?" Olin menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit rumah sakit. Pandangannya menerawang jauh pada hari di mana sang mama meninggalkan dirinya dan sang papa untuk selama-lamanya.

"Apa aku akan pergi seperti mama?" gumamnya.

Suara bising yang ditimbulkan oleh rinai hujan di luar sana mengalihkan perhatian Olin dari lamunannya. Olin beranjak dari tempat duduknya. Dengan langkah gontai, ia berjalan keluar dari lobi rumah sakit.

Ketika Olin menginjakkan kakinya di paving block pelataran rumah sakit, ia langsung di sambut oleh butir-butir air hujan dengan suka cita. Olin tidak peduli dengan pakaiannya yang mulai basah, juga orang-orang di sekitarnya yang menatap aneh ke arahnya. Karena yang ada di dalam pikirannya sekarang hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat yang membuatnya merasa sesak itu.

Olin melangkah tanpa tujuan. Yang ia lakukan hanya berjalan, dan berjalan, hingga ia merasakan kalau tubuhnya mulai menggigil. Wajah Olin tampak begitu pucat, dan matanya mulai berkunang-kunang. Ia merasa kalau dirinya sudah tidak sanggup lagi berjalan. Olin buru-buru mencari sendaran sebelum ia benar-benar tumbang.

Gadis itu terduduk lesu di rerumputan. Ia menyandarkan punggungnya pada pohon di tepi jalan. Kepalanya terasa begitu sakit.

Ah, gejala ini lagi. -batin Olin.

Olin mengambil ponsel yang ia letakkan di dalam saku celananya, berniat menelpon Sesilia, tantenya. Ia menekan tombol power. Akan tetapi ponselnya tak kunjung menyala. Apakah baterai ponselnya lowbatt, atau malah rusak karena terkena air hujan, yang jelas keduanya bukan hal yang baik untuk Olin.

"Bagaimana cara agar aku bisa pulang?" lirihnya.

Olin mengamati sekelilingnya, berharap ada orang yang lewat dan mau membantunya. Tapi berapa kali pun Olin mengedarkan pandangannya, yang ditemuinya hanya jalanan yang lengang. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat di jalan ini setiap 4 menit sekali. Jika ia tidak sadarkan diri di sini, mungkin tidak akan ada yang menemukannya dalam waktu singkat, apalagi di penghujung senja seperti sekarang ini.

Hujan yang turun petang ini semakin lama semakin bertambah lebat. Mata Olin terasa semakin berat. Gemercik air yang ditimbulkan oleh langkah kaki seseorang masih tertangkap dalam indera pendengar Olin. Sepasang sneakers berwarna putih berhenti tepat di depannya, butiran air meluncur diatasnya. Sepasang sneakers itu menarik perhatian Olin. Ia seperti pernah melihatnya, tapi di mana?

Olin menengadahkan kepalanya, ia berharap dapat melihat bagaimana rupa orang yang sedang berdiri di depannya sekarang. Namun sayang, karena hujan yang terlalu deras dan pandangan Olin mulai mengabur, juga helaian rambut basah yang menutupi hampir seluruh bagian wajahnya, membuat Olin sulit untuk mengenali orang di depannya ini. Olin hanya tahu kalau orang itu laki-laki.

Olin menjulurkan tangan kanannya ke atas, berusaha meraih tangan lelaki di depannya, tapi tak sampai. "Tolong aku," ujar Olin sangat lirih, kemudian ia hilang kesadaran. Tangannya terkulai lemas, jatuh ke rerumputan.

Carrolline, I Love You! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang