Sepuluh: Pertengkaran Kecil

42 0 0
                                    

Akhir Maret, 2020

Mega putih yang menggelayut mesra di atas sana menarik perhatian Olin yang baru saja akan beranjak dari kelasnya. Kalau sampai turun hujan, pasti akan lama redanya. Pembelajaran di kelasnya sudah berakhir beberapa saat yang lalu. Olin memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, lalu menyandang ranselnya di punggung. Ia menatap bangku di sebelahnya. Aben masih duduk di sana. Iya, hari ini lelaki itu mengikuti pembelajaran hingga akhir. Olin tersenyum tipis.

Memang, setelah dapat surat panggilan orang tua, Aben hampir tidak pernah bolos sekolah lagi. Paling-paling ia hanya bolos kelas sekitar 2 atau 3 jam pelajaran untuk pergi ke kantin atau tidur di perpustakaan, setelah itu kembali lagi ke kelas.

Kedua anak manusia itu meninggalkan kelas tanpa tegur sapa. Sikap Aben pada Olin semakin dingin setelah Zakky menemuinya waktu itu. Jika tidak membicarakan perihal tugas, ia lebih memilih mendiamkan Olin. Sedangkan sampai sekarang Olin masih tidak paham mengapa Aben seperti menjaga jarak darinya sejak ia pulang dari rumah sakit. Padahal ketika Aben menemuinya malam itu, Olin merasa lelaki itu sudah mulai bersikap baik padanya. Perjalanan dari rumah Aben ke tempat Olin yang harusnya memakan waktu 25 menit, hanya ditempuh 12 menit oleh Aben pada malam itu. Lelaki itu bahkan memberinya bahu untuk bersandar, menenangkannya, dan mengiyakan permintaannya. Olin sungguh tidak mengerti mengapa Aben bersikap seperti sekarang, tapi lelaki itu tak pernah memberikan kesempatan pada Olin untuk bertanya.

Diluar kelas, Zakky sudah menunggu Olin untuk pulang bersama. Padahal Olin dan Aben tidak saling berbicara, hanya melangkah keluar kelas hampir berbarengan, tapi entah kenapa Zakky merasa tidak nyaman. Ketika berpapasan, Aben bahkan tak melihat ke arahnya. Lelaki itu hanya menatap lurus ke depan dengan wajah datar. Aben juga tidak melirik Olin sama sekali. Lantas, apa yang sebenarnya membuat Zakky merasa tak nyaman?

"Hai, kak!" sapa Olin sambil tersenyum manis.

Zakky hanya tersenyum, lalu menggandeng tangan Olin. Sepanjang jalan menuju tempat parkir, keduanya sama-sama bungkam. Tenggelam dalam samudranya masing-masing. Ingatan perihal gadisnya yang hilang, dan prediksi Aben yang tepat terus berulang di dalam kepalanya. Zakky akui, hal itu cukup mengusiknya. Sedangkan Olin berusaha mengingat hal yang dilupakan olehnya ketika tadi ia tak sengaja melihat seorang siswa mengenakan sepatu sneakers berwarna putih.

"Kau masih mencintaiku kan, Lin?" tanya Zakky tiba-tiba.

Olin tersentak. "Astaga, pertanyaan macam apa itu kak?"

"Jawab aku."

"Apa ada alasan untuk aku berhenti mencintai kakak?"

"Aben."

Olin tertawa sumbang. "Kakak meragukan perasaanku?"

"Bukan begitu."

"Lalu?"

"Apa aku tidak boleh merasa cemburu saat kau terlalu dekat dengan lelaki lain?"

"Bukankah sudah sering kukatakan kalau kami hanya teman, kak? Dan, terlalu dekat? Maksud Kak Zakky apa? Kakak bahkan melihat sendiri bagaimana sikapnya padaku. Aku tahu batasan antar teman, dan seingatku aku tidak pernah melewati batasan itu selama aku berstatus sebagai pacar kakak."

"Bergandengan tangan dan pergi berdua dengan lelaki yang bukan kekasihmu, apa itu tidak melewati batas namanya?"

Olin menghela napas untuk kesekian kalinya. Ia memijat pangkal hidungnya ketika tiba-tiba rasa pening menghampirinya. "Ketika aku pergi dengan Dave, Aben, atau siapapun itu, memangnya pernah aku tak memberitahu kakak? Aku juga tidak pernah memberikan kecupan singkat seperti yang pernah kulakukan pada kakak. Aku juga sangat sadar kalau hatiku masih milik kakak."

Carrolline, I Love You! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang