Ada perpisahan yang berakhir dengan kepulangan, namun ada pula perpisahan yang tak mengenal pertemuan ulang. Berpisah bisa berarti sementara, namun berpisah pula bisa berarti selamanya.
Jiver berdiri tegap di depan ruang Rektor. Ia menghela napasnya sebelum memutuskan untuk masuk. Desakan dari beberapa pihak dan ormawa selingkup kampus membuatnya pada akhirnya menemui Wakil Rektor tiga untuk membicarakan rencana yang telah disusun oleh teman-temannya. Yakni, demo penolakan eksploitasi minyak di sebuah daerah perbatasan dua provinsi di pulau Jawa. Beberapa pengurus ormawa di lingkup fakultas sudah mengurus izin pada Wakil Dekan tiga fakultas mereka masing-masing, kini tinggal gilirannya untuk menyelesaikan tugas yang tersisa.
"Saya ingin bertemu Pak Imam, beliau ada?" tanya Jiver pada Emi—sekretaris Rektor di kampusnya.
"Ada, silakan masuk."
Jiver mengangguk kecil dan masuk ke dalam ruang kerja Pak Imam. Tampak di sana beliau sedang sibuk dengan beberapa tumpukkan kertas bersama kaca mata bulat besar khas miliknya.
"Permisi, Pak Imam."
Pak Imam mendengak, matanya menyipit, berusaha mengenali Jiver, setelahnya beliau tersenyum dan mempersilakan Jiver duduk.
"Ada apa?"
"Saya ingin membicarakan mengenai perizinan pihak kampus untuk kami melakukan demo di kementrian ESDM, Pak."
Jiver menjawab dengan tegas, sementara Pak Imam memilih diam sambil mengamati laki-laki itu, beliau lantas melepas kaca mata yang sedari tadi ia gunakan, memijit batang hidungnya sejenak sebelum menjawab permintaan Jiver.
"Demo? Apa alasanmu untuk demo? Kamu pikir demo itu bisa main-main?"
"Demo ini untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa dan rakyat, Pak. Kenapa kami memilih demo, karena aspirasi kami sudah tidak didengarkan, eksploitasi minyak besar-besaran dilakukan di daerah, rakyat tetap miskin, uang lebih banyak masuk ke perusahaan asing dan pejabat daripada ke kas negara, kalau diterus-teruskan rakyat bisa rugi, lingkungan bisa semakin hancur, satu kasus misalnya, teman-teman saya yang berasal dari daerah setempat memberi informasi jika di lingkungan tempat eksploitasi minyak tersebut menjadi kering dan panas, sehingga tanaman tembakau yang ada di sekitarnya menjadi mati dan lahannya tidak lagi subur. Sebagai mahasiswa, walaupun hanya sekedar demo, tapi ini adalah bentuk aspirasi kami, kami tidak bisa diam melihatnya."
"Apa kamu tidak pernah melihat berita? Mereka sudah diberi ganti rugi."
"Saya tahu, ganti rugi yang tidak seberapa. Hanya sekali tanam, lalu untuk seterusnya? Saya yakin, perusahaan yang bersangkutan tidak akan lagi memberi ganti rugi."
Pak Imam mengelus jambang tipisnya, ia menghela napas dan berpikir lagi.
"Bapak bilang mahasiswa adalah motor reformasi, kami adalah kaum yang seharusnya menjadi barisan paling depan untuk negara ini. Kata-kata bapak itu masih saya ingat sampai saat ini, kata-kata yang bapak sampaikan ketika pembukaan OSPEK sewaktu saya menjadi mahasiswa baru. Tidak mungkin seorang pemimpin amanah seperti bapak, hanya sekedar pencitraan, saya percaya bapak adalah orang baik, saya juga tahu dulu bapak salah satu aktivis mahasiswa yang aktif menuntut aspirasi."
"Benar. Saya memang pernah mengucapkan seperti itu, tapi demo juga bukan perkara mudah, kamu tentu tahu beberapa demo berakhir ricuh dan menelan korba, saya memang aktivis mahasiswa dulu, demo sekarang meski tidak berisiko sebesar dulu tapi tetap saja memiliki risiko."
"Saya akan berusaha tidak ada kericuhan. Sebagai mantan aktivis mahasiswa saya juga tahu bapak tidak akan membiarkan rakyat menerima ketidakadilan, pembelaan kami memang kecil, Pak, bahkan kadang tidak berpengaruh, tapi kami berusaha, kami tidak ingin diam sebagai generasi muda yang hanya memangku tangan. Dan...lagi pula, ini akan menjadi demontrasi terakhir saya di sini. Saya harap Pak Imam mengerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
So I Married A Senior
RomanceTersedia di Seluruh Toko Buku! #SeriesCampus1 Biar kuberitahu kamu satu hal. Laki-laki itu, yang sedang berada di bilik kerjanya di Ormawa, yang sedang meladeni para mahasiswa baru yang meminta tandatangannya, yang sedang sibuk mengusap peluhnya ya...