Ketika manusia percaya takdir, saat itu pula manusia harus percaya, ada kisah yang tidak selalu berakhir bahagia, ada kisah yang harus berakhir luka dan bertanda tanya.
***
"Hah, punya anak? Ini kupingku nggak budeg kan ya?" kata Keya setelah lama ia diam.
Jiver menggeleng pelan, menatap Keya dengan dahi mengerut. Ia sibuk berpikir, setelah ini reaksi apalagi yang akan Keya tunjukkan.
"Enggak mauuuuu...aku masih anak-anak mas, yakali punya anak. Apa kata teman-temanku? Aku mau punya karier, aku masih mau kuliah. Aku belum bisa jadi ibu rumah tangga, aku masih mau nonton konsernya 5SOS sama BTS, kalau punya anak nggak bisa bebas. Nggak mauuuu! Lagian, apa gunanya mama nyuruh kita tinggal pisah dulu kalau nggak buat mencegah aku punya anak di usia muda?" ucap Keya dramatis.
Jiver membuka mulutnya, mendengar serentetan kalimat Keya. Lalu, ia tersenyum kecil, dalam pikiran terliarnya pun ia juga tak ingin membebani Keya untuk menjadi seorang ibu di saat Keya masih belum bisa paham arti sebuah hubungan dan tanggung jawab.
"Aku paham, Ke. Itu ide Mas Arion, aku sendiri juga nggak setuju. Orang tuamu setuju aku menikah sama kamu buat menjagamu, mereka nggak mau kamu salah bergaul, dengan kita menikah otomatis kamu punya kesadaran untuk menjaga diri, juga...kalau hal terburuk, misalnya...kamu hamil benar kejadian, kamu nggak perlu nanggung malu, karena sudah bersuami."
Keya tercengang, ia hendak protes sebelum Jiver melanjutkan kalimatnya lagi.
"Aku nggak mau merusak masa depanmu. Tapi Ke, kamu siap kalau kita LDR?"
Mengalihkan tatapannya dari Jiver, Keya berdiri dari duduknya. Gadis itu meneguk air mineral yang tersedia di dalam kulkas, mendinginkan kepalanya. Ruwet, hidupnya semakin ruwet setelah menikah. Dulu, ketika masih lajang, ia hanya gadis remaja yang tak punya beban, hidup semaunya, bergaul sesukanya, masalahnya pun tidak berat, hanya seputar pertemanan saja. Tapi kini, ia punya tanggung jawab, hidupnya bukan untuk dirinya sendiri, ada Jiver dalam lingkaran kehidupannya. Dan, mau tidak mau, sudi ataupun tidak, ia telah dipaksa untuk dewasa, beranjak dari masa remajanya yang labil. Tapi, Keya tahu itu tak mudah, ia bahkan sudah menangis saat ini, tak bisa menerima semua hal yang terlalu berat untuk ia pikirkan.
"LDR ya? Te—terus kalau kamu di sana, ke—ketemu cewek lain dan kamu suka gimana?"
Suaranya tersendat, wajahnya sudah basah oleh air mata. Jiver berdiri, menghampiri Keya. Tanpa menjawab pertanyaan Keya, ia membawa istrinya itu duduk di atas balkon, menikmati pemandangan kota yang berawan tebal. Memberi suasana baru pada Keya, agar pikirannya sedikit terurai.
"Aku bukan orang yang mudah suka sama perempuan, Ke. Kamu nggak harus percaya, tapi...sebuah hubungan harus dilandasi rasa percaya yang kuat untuk berhasil. Kita hanya harus belajar."
"Kamu nggak bisa kuliah di sini aja?"
Keya bertanya lagi. LDR? Ayolah, dia hanya takut tidak bisa menjalaninya. Bukan ketakutan Jiver akan bertemu sosok lain di sana, tapi lebih pada ketakutannya terhadap dirinya sendiri. Keyana Marleni adalah gadis labil yang tidak begitu paham cara menghargai hati laki-laki. Bagaimana kalau suatu hari nanti karena kesepian dan karena ia ingin dating, atau karena ia dibuat baper dengan orang lain, ia menyukai orang lain? Seperti halnya ketika ia bingung dengan perasaannya terhadap Arsa—laki-laki yang bahkan selalu menganggapnya sebagai adik, bukan sebagai gadis yang disukai.
"Apa yang kamu pikirin?"
Keya mengembuskan napasnya, ia menatap langit mendung yang semakin gelap. Nyaman, berada di dekat Jiver seperti ini. Rasanya pas, ia seperti menemukan sebuah hutan hujan di tengah padang sabana.
KAMU SEDANG MEMBACA
So I Married A Senior
RomanceTersedia di Seluruh Toko Buku! #SeriesCampus1 Biar kuberitahu kamu satu hal. Laki-laki itu, yang sedang berada di bilik kerjanya di Ormawa, yang sedang meladeni para mahasiswa baru yang meminta tandatangannya, yang sedang sibuk mengusap peluhnya ya...