#STOPTRADEVOTES #STOPSPAMCOMMENT
Aku berusaha mengubur semua kenyataan yang ditumpahkan semesta, kenyataan tentang diriku yang bukan menjadi pemilik diriku dan diriku yang dipenuhi kehilangan, tapi maukah kamu menjadi hidupku yang baru? Menjadi tokoh utama yang selalu berada pada garis dan ujung yang sama denganku, tokoh utama yang akan kuperjuangkan sampai akhir? Maukah...kamu?
"Lo nggak mau ngerokok?" tawar Amir sambil menyedorkan sebatang rokoknya pada Jiver.
"Nggak."
Laki-laki itu menjawab pendek, tak berminat, matanya sibuk melihat dua orang bendaharanya yang sedang sedang membuat SPJ di satu sudut di ruangan BEM universitas.
"Aelah, hidup tanpa rokok itu nggak nikmat."
Amir mengoceh lagi.
"Gue udah pernah ngisep itu benda laknat yang kata lo nikmat, enak sekarang, ntar di hari tua lo yang bakal nyesel."
Amir malah tertawa, ia mengisap lagi putung rokoknya dan dengan sengaja mengarahkan asapnya pada dua orang rekannya yang sedang bekerja membuat SPJ, hingga mereka terbatuk karena asap rokok Amir.
"Mirrr...bisa nggak sih nggak usah usil, rese lo," omel Nina—teman Amir yang sekaligus menjabat sebagai bendahara satu.
"Apa sih cantik? Marah terus kerjaannya, ntar kalau keriput perawatannya mahal lo," goda Amir.
"Mir, kalau lo gangguin anak buah gue terus, mending lo pergi!" kata Jiver yang geram melihat tingkah Amir.
"Wuih Pak Presiden marah nih haha..."
"Mirrr!"
Amir mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, ia lalu mendekat pada Jiver yang sedang duduk di kursinya—tadi Amir duduk di bawah, tak jauh dari Nina dan Yola yang sedang sibuk membuat SPJ. Amir kini duduk di atas meja—tepat di depan Jiver. Rokoknya sudah ia matikan tadi, dan membiarkan sisa putungnya tergeletak begitu saja di asbak yang tersedia di sana, jangan heran semisal di sana ada asbak, karena hampir sebagian besar pengurus BEM yang ada di sana memiliki kebiasaan merokok, jadi asbak adalah benda yang wajib ada, meski ketika ada tamu asbak itu disembunyikan sekedar menjaga martabat dan kesopanan.
"Lo beneran ngehindarin rokok? Dulu...lo candu banget."
Jiver tak langsung menjawab, pikirannya justru melayang. Ia ingat, benda laknat itu dulu pernah menjadi candunya, ia tidak memungkiri, masa lalunya tidak begitu baik, tidak sesempurna yang terlihat.
"Lo tahu alasan gue."
"Tapi seenggaknya, dengan ngerokok lo nggak akan suntuk. Atau lo mau coba vape?"
"Sekalipun itu rokok elektrik, tetap aja ada bahan kimianya berbahaya."
"Apa gara-gara istri lo?" tanya Amir lagi, sekedar memastikan sesuatu.
Malam lalu Jiver memang menceritakan segala hal yang ia alami sampai bisa menikah dengan Keya padanya, setelah menunggu tiga hari lamanya Jiver bungkam, akhirnya laki-laki itu mau membuka suaranya juga.
"Lo tahu masa lalu gue nggak baik, gue cuma butuh lo dukung perubahan gue, bukan mau nyeret gue lagi ke masa-masa itu, Mir."
Seakan ada yang menohoknya, Amir terdiam untuk beberapa saat. Ia tahu benar bagaimana Jiver semasa SMA, karena ia adalah saksi hidup sahabatnya itu, saksi di mana laki-laki ini pernah hancur dengan sangat—bahkan mungkin sisa luka itu masih ada. Tak ada yang tahu, jika diklasifikasikan dalam teori inner circle, Jiver ini berada pada lingkaran A, di mana ada sebagian rahasia dalam hidupnya yang hanya diketahui oleh laki-laki itu sendiri dan Tuhan. Amir tak mungkin bisa menyeret Jiver dalam lingkaran B, ia tidak bisa sejauh itu sementara ia tahu, bagaimana sulitnya hidup Jiver selama ini, Amir tak memiliki kuasa penuh atas itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
So I Married A Senior
RomanceTersedia di Seluruh Toko Buku! #SeriesCampus1 Biar kuberitahu kamu satu hal. Laki-laki itu, yang sedang berada di bilik kerjanya di Ormawa, yang sedang meladeni para mahasiswa baru yang meminta tandatangannya, yang sedang sibuk mengusap peluhnya ya...