Hati tidak seperti hidup yang menjadi sebuah pilihan. Hati telah menetapkan, pada siapa seharusnya ia berjuang, dan pada siapa seharusnya ia pulang.
Keya memandang diam pada seseorang yang kini berada di depannya, laki-laki yang sibuk menata perabotan di apartemen bergaya minimalis, letaknya tak jauh dari kampus Keya.
Gadis itu mengembuskan napasnya kesal, bagaimana bisa, tiba-tiba saja laki-laki itu datang ke rumahnya dan memintanya untuk segera berkemas, lalu di sinilah ia sekarang. Di dalam apartemen milik Jiver, dengan seribu tanya yang masih berkobar dalam kepalanya.
"Aku sudah lama meminta izin sama mama dan papamu, kalau itu yang ingin kamu tanyakan," kata Jiver.
"Kenapa? Ini tuh mendadak, ngerti nggak sih Mas Jiper?"
Keya mendengus.
"Dengar. Kita sudah menikah, nggak seharusnya kita hidup sendiri-sendiri. Lagi pula aku sudah mampu menghidupimu meski belum seberapa uang yang kumiliki. Jadi, apa yang kamu permasalahkan?"
Jiver berjalan. Menghampiri Keya, sebenarnya alasan terbesarnya untuk membawa Keya ke apartemen ini dan memulai hidup baru bersama Keya, adalah papanya. Jiver ingin membuktikan pada papanya, bahwa ia berguna.
"Aku nggak bisa masak, nyapu enggak bersih, ngepel sering kebanyakan sabun, nyuci harus pakai mesin cuci, terus nasib rumah ini gimana?"
Keya bersungut, ia menatap malas pada Jiver yang kini sudah berada di depannya. Tampak gurat lelah di wajah laki-laki itu.
"Aku nggak menyuruhmu melakukan semua itu, kita bisa melakukannya sama-sama. Dan lagi, ini salah satu caraku untuk memperjuangkanmu, Ke. Satu bulan, kamu masih ingat aku memberimu waktu satu bulan. Tapi, di sisi lain aku juga berhak memperjuangkanmu. Kita harus mengenal lebih jauh."
Jiver menatapnya serius, membuat Keya tidak berkutik. Ia merasakan debaran jantungnya menggebu lagi. Keya tak suka ditatap seperti itu oleh Jiver. Keya hanya merasa, sebenarnya tak pantas untuk Jiver. Laki-laki itu terlalu tinggi, untuk dirinya yang biasa saja.
"Udahlah, aku mau mandi," kata Keya. Ia berusaha menghindar, sembari meyakinkan dirinya, tentang segala hal yang masih membingungkan antara ia dan Jiver. Dan tentang...foto seorang anak laki-laki di kumpulan kliping yang ia temukan di kamar Jiver dulu.
***
"Kemarin, terakhir kali kamu membuat saya repot!"
Dito melipat kedua tangannya, pria itu berdiri di depan meja kerja yang ada di ruang kerjanya. Di dalam rumah itu, tepatnya di dalam ruang kerja Dito--papanya, Jiver tampak menatap laki-laki itu dengan gurat kehilangan.
"Dan apa ini? Saya menemukan benda sialan ini di kamarmu!"
Dito berteriak lagi, kali ini ia melimpar sebuah buku agenda milik Jiver. Tempat, biasanya laki-laki itu menulis puisi.
"Pa--"
"Kamu masih membuat puisi-puisi sialan itu? Apa maumu sebenarnya? Tidakkah larangan saya kamu dengarkan?"Pria itu marah. Ia menatap tajam Jiver yang hanya diam. Anak laki-laki itu selalu tak berkutik di depannya, ia hanya akan memilih diam tanpa suara. Tanpa pembelaan seperti biasa.
"Kamu tidak boleh membuat kalimat-kalimat laknat itu, Jiver! Kamu ingat pesan saya, ha?"
"Saya ingat, Pa."
Jiver menunduk, kredibilitasnya sebagai Pres BEM yang biasanya dikenal tegas dan organisator ulung tampak tak berarti apa-apa di depan Dito.
"Bagus! Lebih baik cepat kamu selesaikan kuliahmu. Buatlah saya bangga seperti kakakmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
So I Married A Senior
RomanceTersedia di Seluruh Toko Buku! #SeriesCampus1 Biar kuberitahu kamu satu hal. Laki-laki itu, yang sedang berada di bilik kerjanya di Ormawa, yang sedang meladeni para mahasiswa baru yang meminta tandatangannya, yang sedang sibuk mengusap peluhnya ya...