Never Be Alone

249K 22.6K 992
                                    

Seberapa pun jauhnya jarak antara kita, pada akhirnya, kamu tetap menjadi tempat pulang terbaiku.

Keya sudah mendapat tatapan tajam dari ayah mertuanya sejak memulai sarapannya lima belas menit yang lalu. Keya pikir, Dito lebih menyeramkan daripada sosok hantu di film The Conjuring yang pernah di tontonnya dulu. Aura yang dikeluarkan Dito khas orang tua otoriter yang selalu ingin mengatur anaknya, yang menganggap pilihannyalah yang paling baik daripada apa yang diinginkan oleh anaknya. Oh, Keya tidak heran mengapa Jiver bisa semenurut itu pada Dito.

"Bagaimana kuliahmu?" Dito bertanya dengan nada mengintimidasi.
"Emh...Baik, Pa. Tidak ada masalah."

Keya sampai harus menahan napasnya, Dito benar-benar terlihat lebih kejam daripada dosen statistik deskriptifnya di kampus.

"Baguslah. Saya tidak ingin cucu saya terlahir dari ibu yang kurang berpendidikan," kata Dito lagi.

Keya menelan ludahnya susah payah. Oke, dia memang pernah mendengar, kepintaran seorang anak diwariskan dari ibunya, sedangkan rupa fisiknya lebih didominasi dari sang ayah. Tapi, tidak seharusnya kan Dito berkata seperti itu? Ucapan Dito mengusik ego Keya.

"Ini meja makan, Mas. Jaga ucapanmu, kasihan menantuku kalau mulutmu masih setajam itu," kata Ira, habis sudah kesabarannya melihat sifat kaku Dito.

"Bun...aku nggak papa kok. Lagian nggak ada yang salah sama ucapan papa. Bunda harus jaga emosi, ingat kesehatan bunda belum pulih benar."

Ira tersenyum padanya. "Kamu memang baik, Ke. Ayo, habiskan makanmu."
"Ya, Bunda."

Keya menelan makannya lagi dengan perasaan tak keruan. Keluarganya tidak pernah secanggung dan sekaku ini, papanya adalah sosok yang hangat, beranding terbalik dengan Dito--ayah mertuanya. Keya meringis, sewaktu mengingat sikap Dito pada Jiver, suaminya itu, pasti sangat tertekan.

***

"Hoambbb..." Keya menguap untuk kesekian kali, meski begitu ia masih tetap diam, tidak mengucapkan apa pun pada Jiver, sejak setengah jam yang lalu suaminya itu menghubunginya.

Sudah puluhan kali Jiver meminta maaf, tapi tak kunjung mendapat maaf dari istrinya. Keyana terlihat sangat kesal, wajahnya kusut, dan tatapan malas yang berada di wajah Keya membuat Jiver merasa bersalah.

Keya tidak ingin menampik kalau dirinya benar-benar sudah mengantuk. Perbedaan waktu tujuh jam antara London dan Indonesia bagian barat, membuat Keya lebih sering mengantuk ketika Jiver menghubunginya lewat video call seperti saat ini. Seperti, saat Jiver bangun, dia masih terlelap, saat Jiver tidur, Keya masih beraktivias. Oke, faktanya mereka benar-benar pejuang LDR saat ini.

"Maaf, Ke. Aku benar-benar sibuk mengurusi kuliahku di sini. Kamu jangan marah, ya..."

Keya mendengus. Ia masih tetap bungkam, matanya sudah memerah karena menahan kantuk, entah keberapa kali ia menguap. Ingin rasanya Keya marah pada jarak dan waktu, mereka sudah membuat hubungannya dengan sang suami menjadi rumit.

"Beberapa hari yang lalu aku belajar gitar pada teman baruku. Namanya Deutzy, dia seorang Irish...katanya perempuan itu gampang tersentuh dengan lagu."

Keya lalu melihat Jiver mengambil sebuah gitar di belakangnya. Laki-laki itu sedang berada di dalam kamarnya, ia tinggal di bekas apartemen milik Arion sewaktu kakanya kuliah di London dulu.

"Mungkin permainan gitarku tidak sebagus caramu memainkannya. Aku harap kamu menyukainya, Keya."

Beberapa saat kemudian, Keya lalu mendengar suara petikan gitar. Jiver terlihat seperti amatiran yang masih menghafalkan kunci lagu.

So I Married A SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang