Luka akan mendewasakan kita, dan cinta akan membuat kita bersama.
***
"Jadi, yang bikin ulah anggota dari salah satu ormek?"
Amir berteriak marah di depan adik tingkatnya yang hanya menunduk menekuri dinginnya lantai rumah sakit. Ormek adalah organisasi ekstra kampus yang dilarang tumbuh di dalam kampus mereka. Sejenis organisasi dengan doktrin kuat yang diam-diam ditumbuhkan oleh beberapa anak organisasi intra kampus yang ingin mencari kepuasan lain dalam berorganisasi. Ada beberapa ormek yang memang masih ada secara sembunyi di dalam kampus mereka, baik yang beraliran agama, liberal dan lainnya.
Dari awal memang Jiver tak ingin mengikuti salah satu di antara ormek tersebut, meski partai atau asosiasi yang dulu mencalonkannya sebagai ketua Pres BEM berasal dari beberapa gabungan ormek tersebut.
"Iya, Kak."
"Brengsek!"
"Mir tenang, rumah sakit. Ada orang tuanya Jiver, lagi pula kan sudah pasti ada kepentingan ormek di sana," kata Yonat berusaha menenangkan Amir yang tersulut emosi."Tapi nggak bikin rusuh juga kan, Nat? Lo nggak mikir keadaan Jiver di sana, hah?"
"Ya gue tahu, tapi kalaupun lo mau marah-marah udah nggak berguna, Mir! Hormati orang tua Jiver!"
Amir mendengus, ia bahkan tak peduli sekalipun mama dan papa Jiver mendengar umpatannya pada adik tingkatnya itu. Memang, mereka peduli pada hidup Jiver?
Dito yang sedari tadi hanya diam, lantas berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah Amir. Wajah pria itu tampak suram, matanya mentap tajam Amir yang masih berada pada ketegangan dengan adik tingkatnya itu.
"Jangan pernah bergaul dengan Jiver kalau kamu masih memberikan pengaruh buruh pada anak itu! Kamu mengerti, Mir?" Kata Dito keras, membuat Yonat dan Aqil--adik tingkatnya terperanjat.
"Jangan sok tahu kalau anda hanya menjadikan Jiver robot, yang bisa anda bentuk dan anda jalankan sesuka kehendak anda, Pak Dito!"
Dito menggenggam tangannya, pria itu menatap penuh amarah pada Amir. Harusnya sejak dulu ia melarang Jiver bergaul dengan anak ini, kalau ia tak mau pada akhirnya nanti Jiver menjadi pembangkang dan penentang seperti Amir.
"Saya tidak ingin melihatmu di sini, Mir. Silakan kamu angkat kaki!" Ucap Dito.
Amir membuang muka, ia tak lagi berkata-kata. Diliriknya Keya yang hanya duduk melamun di atas kursi yang ia duduki bersama bunda Jiver. Gadis itu tampak gelisah dan sesekali menangis tanpa suara.
"Lo ikut gue. Ada yang harus gue jelasin," ujar Amir. Keya menoleh.
Lelehan air matanya masih tersisa, gadis itu mengerutkan dahinya. Ada banyak pikiran buruk yang singgah di kepalanya, membuat hatinya gundah dan tangannya mengeluarkan keringat dingin sedari tadi.
"Kemana?" Ia berkata pelan.
"Kantin rumah sakit."***
Amir menyulut putung rokoknya. Asap kopi hitam tampak mengepul dari cangkir miliknya. Hanya kopi dan rokok yang bisa membuatnya tenang, dua hal tersebut sudah sangat wajib ia nikmati ketika pikirannya sedang suntuk seperti saat ini.
Keya sendiri hanya memesan sebotol air mineral, yang masih utuh dan belum ia minum.
"Lo mau ngomong apa?" Tanya Keya, ia mulai penasaran juga pada hal yang akan Amir bicarakan padanya.
"Tentang Jiver."
Dahi Keya mengerut, ia menatap penasaran pada Amir. Ucapan Dito tadi berkelebat lagi di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
So I Married A Senior
RomanceTersedia di Seluruh Toko Buku! #SeriesCampus1 Biar kuberitahu kamu satu hal. Laki-laki itu, yang sedang berada di bilik kerjanya di Ormawa, yang sedang meladeni para mahasiswa baru yang meminta tandatangannya, yang sedang sibuk mengusap peluhnya ya...