-Dicky?-

1K 148 62
                                    

※※※

KELAS begitu sepi. Bangku berserakan di mana-mana, dengan beberapa orang yang terkapar lemas.

Al membuka matanya setelah merasa Angel sudah tidak ada lagi di ruangan kelas. Badannya terasa remuk, panas, sakit, entah apalagi yang bisa menjelaskan keadaannya saat ini. Hal yang pertama ia lihat adalah bangku yang berserakan. Al mencoba bangkit dan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat cekikan Angel. Ia masih melihat Dian yang terkapar di dekat pintu kelas. Al menoleh ke arah kanan dan mendapati Dhea, Rere, dan Fanya yang hampir sama kondisinya dengan Dian. Ia merasakan sesuatu yang janggal, sesuatu yang membuat batinnya tidak tenang.

Dicky?

Al sama sekali tidak melihat Dicky di ruangan kelasnya. Ia mulai panik dan mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki. Tertatih ke arah Dhea, Rere, dan Fanya.

"Dhe? Rere? Fanya?" desis Al dengan suara serak. Ia merasa tenggorokannya benar-benar sakit.

Al menoleh ke arah Dhea dan Rere. Ia mencoba menggapai tangan Dhea dan menggenggamnya, "Dhe?"

Tidak ada respon.

"Dhea! Bangun, lo nggak papa, 'kan?" Al kembali meringis saat kepalanya merasakan pusing.

Ia mencoba bangkit lagi dan berjalan terseret ke arah pintu kelas dan memindahkan tubuh Dian dengan susah payah agar tubuhnya tidak menghalangi pintu kelas. Ia membuka pintu dan berteriak minta tolong membuat beberapa murid yang berada di koridor tak jauh dari kelasnya menoleh dan menghampiri Al sebelum akhirnya pingsan.

※※※

Yoga berdiri sambil bersidekap di depan pintu UKS. Melihat kelima temannya luka-luka membuatnya sedikit cemas. Mungkin, musuh-musuh Ayahnya itu menyerang mereka bermaksud agar sekolahnya ditutup. Entah apa Yoga bingung dan malas memikirkannya. Para guru tidak memperbolehkan mereka dibawa ke Rumah Sakit, mereka bilang jika dalang dari semua ini masih berkeliaran di sekolah, nyawa mereka juga bisa terancam. Alasan yang sungguh masuk akal. Cih!

Yoga mengeluarkan ponsel hendak menghubungi Ayahnya. Setelah dirasa Ayahnya sudah mengangkat panggilannya, Yoga cepat-cepat menyahut.

"Hallo, Pih?" katanya sedikit cemas, raut wajahnya terlihat panik.

"Papih di mana?"

"...."

"Udah tau 'kan, Pih. Ada penyerangan di sekolah?"

"...."

"Papih yakin, kalo ini sama sekali nggak ada sangkut pautnya sama Angel?"

"...."

"Bener? Yoga takutnya semua rahasia kebongkar, Pih. Yoga nggak mau ya, sampe kematian Angel ada yang tau."

"...."

"Bagus apanya, Pih?" Yoga mengerutkan dahi ketika Ayahnya malah memuji.

"...."

Wajah Yoga mulai memucat, entah apa yang dikatakan Ayahnya mampu membuat tenggorokannya serasa kering. Jantungnya berdetak cepat tak karuan. Yang diucapkan Ayahnya barusan sungguh membuatnya speechless.

"Papih ngomong apa, sih? Bukannya anak buah Papih yang mindahin jasad Angel, ya?" Raut wajah cemas semakin terpancar di wajah tampannya.

"...."

"Tapi, bukan Yoga yang mindahin, Pih."

"...."

Setelah sambungan teleponnya diputus sepihak, Yoga terduduk di lantai UKS yang dingin. Tubuhnya tiba-tiba saja melemas. Matanya menerawang antara cemas dan sedih. "Kamu di mana, Angel?" lirihnya.

Jika saja alat pemutar waktu itu ada. Seseorang dengan segala penyesalannya itu akan memutar waktunya ke masa lalu. Memperbaiki semua yang menurut mereka salah. Memperindah yang rusak. Andai semua itu ada.

Yoga mulai membenci kata andai. Karena menurutnya berangan-angan hanya akan menambah rasa sesal dan bersalah.

Orang-orang selalu mempertanyakan, kenapa penyesalan selalu hadir di akhir. Mereka yang pernah merasa menyesal akan menjawab.

Jika rasa penyesalan itu tidak ada, maka kehidupan tidak akan berlanjut. Anggap saja seperti ini, kalian melakukan kesalahan dan jika tidak ada penyesalan maka kalian tidak akan pernah tahu di mana letak kesalahannya. Kalian tidak akan bisa berubah memperbaiki kesalahan kalian, jika kalian tidak pernah belajar dan mempelajari apa itu arti dari sebuah penyesalan.

※※※

"Eh, itu anak baru yang kemaren di- bully sama Fanya," ujar Aul sambil menunjuk seorang siswi yang bisa dibilang nerd.

"Mana?" tanya Zidan dan mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Aul. Zidan memperhatikan cewek itu, cewek yang katanya pernah di-bully sama genk Fanya. Cewek yang otomatis masih baru di sekolahnya.

"Cantik, ya? Sayang nerd," ucap Aul sambil memandangi cewek itu. Cewek itu hanya memandang Aul sekilas dan kembali membaca bukunya lagi. Sedikit menaikkan kaca matanya yang melorot agar seseorang yang memperhatikannya selalu beranggapan, Cewek ini nerd.

"Zidan!" teriak Bimo, salah satu teman sekelasnya. Zidan menoleh dan mendapatinya berlari menghampiri. Perasaan Zidan menjadi tidak enak saat melihat raut wajah Bimo yang ketakutan.

"Kenapa, Bim?" tanya Zidan tak kalah takutnya.

"Temen-temen lo ada di UKS semua!" jawabnya sambil mengatur napas.

Zidan melotot kaget. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuh, "Kok? Kenapa? Kenapa mereka semua ada di UKS?"

Tubuh Aul menegang seketika, "Dhea sama Rere gimana?"

"Nah, itu dia. Dhea, Rere, Al, Fanya, sama Dian kena serangan tiba-tiba. Nggak ada yang tau gimana kejadiannya."

Zidan yang mendengar itu langsung menarik Aul berlari menuju UKS. tidak peduli apa pun, yang terpenting mereka harus cepat sampai di sana untuk memastikan kondisi teman-temannya. Raut khawatir tercetak jelas di wajah Zidan. Bagaimana bisa Angel melakukan semua penyerangan di dalam lingkungan sekolah? Atau ini bukan ulah Angel?

Sesampainya Zidan di UKS, ia mendapati Yoga terduduk lemas. Matanya menerawang ke depan. Ada raut wajah putus asa.

Aul berlari menghampiri brankar Dhea dan Rere lantas menggenggam tangan mereka. Seharusnya Aul tidak meninggalkan mereka.

"Yoga?" gumam Zidan saat melihat Yoga ada di sana.

Yoga mendongak dan langsung berdiri saat melihat Zidan, "Eh, elo Dan?"

Zidan menatap Yoga tidak suka, ia menahan dirinya agar tidak menanyakan perkara Angel, "Kenapa sama mereka, Ga?"

Yoga menoleh sekilas ke arah brankar yang tidak tertutupi gorden. "Nggak tau gue, mereka kayak diserang tapi gue sama kepsek sama sekali nggak nemuin petunjuk apa pun."

Zidan memperhatikan teman-temannya. Semua keadaan mereka tidak bisa dibilang kecil, luka-lukanya lumayan parah. Beberapa detik ia seperti menemukan keanehan. Ia melotot terkejut saat mengetahui sesuatu tentang mereka. "Dicky mana?"

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa."

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa."

BRAAKK ....

"Zidan! Yoga! Dick-Dicky...."

※※※

Ciyeee, Yoga muncul ....

Unstoppable DangerousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang