"Eh, tunggu, Kek. Itu si Agisa kenapa asal bawa laki-laki itu ke rumahnya? Ngga takut apa?" Aku memotong sedikit cerita Kakek. Sungguh ini mengganggu benakku.
Kakek menggeleng pelan, "enggak lah, memangnya orang sakit bisa bikin bahaya?" tanya Kakek balik.
"Tau tuh, Agi. Kamu itu kalau nolong orang masa iya liat dulu, dia kira-kira baik atau engga, jahat atau engga?" timpal Bang Aris. "Keburu mati duluan orang yang mau di tolong."
Aku mengedikkan bahu sekilas. "Ya siapa tau aja, Bang. 'Kan dalamnya samudera bisa diukur, dalamnya hati, mah, siapa yang tau." Aku meraup setangkup kacang kulit kembali. Lalu meletakkannya di pangkuanku.
"Kamu ini ada-ada aja. Yang namanya nolong orang itu gak boleh pamrih, Nduk," ucap Nenekku. Aku hanya meringis sebagai jawaban. Benar juga sih. Sama seperti dokter, pemadam kebakaran, atau bahkan tim sar yang baru saja lewat. Mereka menolong tanpa pamrih.
"Udah ah, Kakek lanjut dulu ceritanya."
Aku mengangguk, menyimak dengan serius apa yang akan Kakek ceritakan lagi.
[Watu Ulo]
First up 5 April 2016
First Revision 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Historical Fiction[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...