Bab 16

2.9K 245 3
                                    

Dimas' POV

"Ngapain Gis, duduk di sini malem-malem?"

Agisa menolehkan kepalanya, tersenyum, lalu kembali menatap langit malam. Aku duduk di sebelah Agisa, menghela napas pelan sebelum memusatkan perhatian pada gadis manis yang duduk di sebelahku ini.

"Gak baik anak gadis duduk sendirian malem-malem gini," lanjutku.

"Kata siapa sendirian? Kan ada kamu." Agisa mengerling nakal dibawah cahaya bulan. Aku terkekeh pelan. Jawabannya sungguh-sungguh tak terduga.

Gadis ini seakan kotak Pandora yang isinya sungguh-sungguh akan berada di luar imajinasi kita. Tak tertebak, juga penuh dengan kejutan. Pertama kali melihat Agisa, aku bahkan tak menduga jika gadis ini adalah seorang tabib handal. Wajah serta perawakannya sungguh berbeda dari semua tabib perempuan yang pernah aku tahu. Bahkan aroma tubuhnya bukan berbau obat-obat herbal. Ia beraroma matahari.

Aku iri pada gadis ini. Jangan berpikir buruk terlebih dahulu. Sungguh, keberadaan Agisa seperti obat paling mujarab yang selama ini aku cari. Penghargaannya atas keberadaanku itulah yang membuatku nyaman berada di sekitarnya. Maksudku, hanya dia yang masih mau menganggapku sebagai manusia yang layak mendapat perhatian walau dengan kekurangan yang begitu kentara.

Keluargaku? Ah jangan bertanya. Ibu dan Prabu jarang berkunjung ke pendopo timur, tempat kamarku berada. Toh juga jika mereka datang, pasti hanya akan menyampaikan jika aku tak boleh keluar kamar karena ada tamu penting. Mereka takut aku membawa keburukan mungkin. Bahkan jika aku sudah terlalu frustasi, aku berpikir jika lebih baik meninggalkan dunia fana ini.

"Aku tahu apa yang kamu pikirin."

Aku menoleh mendengar perkataan Agisa yang begitu tiba-tiba. Kernyitan di dahiku muncul. "Memangnya apa yang kupirkirkan?"

"Kenangan yang kamu impikan, juga mengenai keluargamu," ucap Agisa gamblang.

Aku terhenyak. Sungguh tak menyangka jika gadis ini bisa menebak apa yang aku pikirkan secara jelas. Tidak, tidak. Pasti ini hanya kebetulan saja. Dia tidak mungkin bisa membaca pikiranki, bukan?

"Sok tau banget kamu, Gis." Aku mengalihkan tatapanku kea rah langit. Berusaha mengubur kemungkinan jika Agisa dapat membaca pikiranku selama ini.

Agisa menghela napasnya pelan. Aku meliriknya sekilas. Dari ekspresinya saat ini, Agisa seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun tertahan karena satu atau banyak hal.

"Apa kamu bisa jaga rahasia kalau aku kasih tahu suatu hal?" tanya Agisa pelan. Gadis ini bahkan sudah menunduk, memainkan ujung pakaiannya.

Aku mengerutkan kening semakin dalam. Apa ini ada hubungannya mengapa tiba-tiba Agisa mengatakan jika mengetahui apa yang aku pikirkan? Jika memang benar, aku yakin, menceritakan semua ini adalah hal yang berat.

"Kalau kamu percaya aku, silahkan cerita. Aku gak paksa karena itu hakmu, Gis." Aku memberanikan diri meraih tangan Agisa yang tengah memilin ujung pakaiannya. Ia menatapku, dengan mata bening yang tengah berkaca-kaca.

"Semua bermula dari perjanjian Bapakku dengan penguasa pantai selatan."

[Watu Ulo]

First up 26 April 2016
First Revision 24 Desember 2018


Watu Ulo - Legend of Stone Beach.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang