Aku menghela nafas panjang. Panas sekali di sini. Tidak ada pepohonan yang bisa menghalau sinar matahari dengan baik. Aku berjalan kembali menyusuri pantai. Topi ini hanya sedikit menghalau cahaya yang ada.
"Mbak, sampeyan kok wani nggae klambi abang?" Seorang ibu-ibu yang tengah berwisata dengan keluarganya bertanya padaku. Aku mengerutkan kening tak paham. Memangnya ada yang salah?
"Memangnya kenapa, Bu?" tanyaku kembali. Aku sedikit memicingkan mata, silau. Sedangkan ibu itu memakai kacamata hitam dengan santai. Gambaran ibu-ibu jaman sekarang.
Ibu itu membetulkan letak hijabnya. "Mbaknya bukan orang sini ya?" Aku mengangguk sebagai jawaban. "Di pantai ini gak boleh pakek baju merah. Ra ilok," tutur ibu itu.
Aku tersenyum maklum. Rupanya kepercayaan daerah sini seperti itu. Aku memang tidak tahu semua hal itu. Asalku bukan dari Jember. Aku lahir di Madiun, dan besar di Solo. Sedangkan kedatanganku kemari karena ada acara pesta pernikahan saudara.
"Ngga papa, Bu. Itu 'kan cuma mitos. Lagipula saya gak main ke tengah sana, kok," jelasku padanya. Ibu itu hanya berdecak dan tersenyum padaku. Ya memangnya aku akan nekat ke tengah laut? Tentu saja tidak 'kan.
Ibu itu membetulkan letak hijabnya kembali, angin di sini memang sangat kencang. "Yo wes, tapi tetep hati-hati ya." Ibu itu berjalan meninggalkanku. Masih saja banyak orang yang percaya dengan mitos dan kepercayaan seperti itu. Sekarang sudah 2018, zaman modern yang toilet saja sudah otomatis.
Aku menggelengkan kepala pelan. Sudahlah, sebaiknya aku kembali ke mobil. Kakek, nenek, dan orang tuaku masih berada di sana. Seraya memperhatikan lautan dengan santai, mataku menangkap seseorang. Berdiri di tengah lautan sana dengan santai. Walau terlihat sangat jauh dan kecil, aku yakin pakaiannya berwarna hijau.
"Itu...."
"Agi, kamu dicariin ternyata di sini." Seseorang menepuk bahuku. Aku sedikit berjengit kaget, lalu kembali menetralkan ekspresiku. Ternyata Aris, abang sepupuku.
"Bang, ada orang yang berdiri di sana."
"Dimana?" Bang Aris mengerutkan keningnya.
"Itu di sa—," ucapanku terhenti. Saat aku menoleh dan menunjuk ke arah tengah laut, orang itu menghilang. "Lho, kok udah gak ada."
"Kamu kelamaan main panas nih. Sampe ngigau gitu," ucap bang Aris padaku. Aku mengerucutkan bibir kesal. Aku tidak mungkin salah liat. Sudah jelas ada seseorang di sana, dan tiba-tiba menghilang secepat angin.
"Engga, Bang. Beneran ada orang di sana," tuturku tak mau kalah. Bang Aris malah tertawa, lalu membuka payung lipat yang sedari tadi ia bawa.
"Pake payung aja, biar ga kepanasan terus. Bisa-bisa ngigaumu makin parah." Dia merangkul bahuku, lalu mengajakku berjalan kembali ke arah keluargaku berkumpul.
Di mobil juga hanya tersisa Kakek dan Ayah. Mereka sedang bercengkrama dibawah naungan pohon besar dan terlihat sangat menikmati suasana. Ibu dan Nenek pasti sedang melihat-lihat ke sekitar. Mencari sesuatu yang bisa dibeli dan memenuhi bagasi mobil.
"Kakeeeekkk...." Aku berlari lalu memeluk tubuh Kakekku. Dia masih sangat sehat asal kalian tahu. Usianya sudah menginjak kepala sembilan, tapi gigi saja bahkan masih lengkap. Sama seperti Nenekku.
"Gimana, pantainya bagus? Udah ke batu ularnya?" Kakekku bertanya.
Aku menggeleng kecil. "Panas, jadi gak jalan sampek ke batu ularnya," tuturku. "Oh iya Kek, tadi masa aku liat ada orang berdiri di tengah laut sana. Pake baju hijau-hijau gitu."
"Kebanyakan main di tempat panas sih kamu, Gi," balas Bang Aris.
"Aku gak ngomong sama Abang, elah. Orang aku cerita ke Kakek."
"Sudah-sudah, kalian malah debat." Kakekku menengahi. Aku hanya mengangguk, lalu duduk dengan benar di sebelah Kakek. Mengambil segenggam kacang kulit dan memakannya perlahan. "Kamu juga, Agi, kenapa masih pakek baju merah? Tadi kan sama Ibumu suruh ganti," terang Kakekku.
Aku mengerutkan kening. Memang apa hubungannya? Kenapa kakek sama seperti ibu-ibu di pantai tadi? "Gak ada hubungannya, Kek. Emangnya kenapa sih kalau pakek baju merah di pantai? 'Kan sama aja."
Kakek menghela nafas pelan, lalu menepuk bahuku. "Itu kepercayaan daerah sini. Di pantai Watu Ulo, bahkan sampai pantai Papuma dan sekitarnya, gak boleh pakek baju merah sama hijau. Ra ilok kalau kata orang sini," jelas kakekku.
Aku tertawa pelan. "Itu cuman mitos, Kek. Sekarang udah zaman modern. Gak ada yang mistis-mistis kayak gitu." Aku membersihkan sedikit kulit kacang yang bertebaran. Mengumpulkannya menjadi satu di dalam kantong plastik kecil.
"Kamu tau 'kan peribahasa dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung?" tanya Kakekku. Aku mengangguk mengerti. "Sama kayak mitos daerah sini, seenggaknya kamu jangan pakek baju merah kalau gak mau diganggu sama yang menjaga." Kakekku tersenyum penuh arti.
"Diganggu?" tanyaku polos. Hah? Aku jadi makin nggak ngerti deh.
"Ya sama yang kamu liat di tengah laut sana, Gi," balas Bang Aris.
"Kamu tau cerita asal mula pantai Watu Ulo sama mitos baju merah?" Aku menggeleng sebagai jawaban pertanyaan kakek. "Ya udah, tak ceritani lek ngono. Supaya kamu tahu."
"Wah, dongeng siang-siang nih," timpal Ibuku yang baru saja datang. Wajahnya berseri seraya menunjukkan beberapa kantong belanjaan yang entah apa isinya.
"Gara-gara anakmu liat orang pakek baju hijau di tengah laut sana, Bu." Kali ini Ayahku menimpali.
Tiba-tiba, suara sirine tanda bahaya berbunyi. Banyak orang di sekitar sana malah berlari ke arah lautan disusul sebuah mobil tim sar yang baru tiba. Loh? Ada apa ini? Perasaan aku tadi di sana tidak ada apa-apa.
"Oh ada yang tenggelam. Itu anak dua yang di sana ya? Yang pakek baju merah 'kan yang satu?"
Dua orang ibu-ibu yang tak jauh dari tempat kami berbicara cukup keras, bergosip. Aku hanya mendengarkan, sama seperti seluruh keluargaku. Tiba-tiba Kakekku berdecak pelan.
"Untung bukan kamu. Yang kamu lihat tadi sebagai tanda, supaya jangan melanggar apa yang menjadi kepercayaan," tutur Kakeku bijak. Aku hanya bisa mematung. Ternyata benar, tapi aku masih tidak mengerti. "Kakek ceritain sesuatu, supaya kamu mengerti kenapa gak boleh pakek baju merah sama hijau."
Aku mengangguk. Lalu duduk dengan tenang menyimak apa yang akan kakekku ceritakan. Dan dimulai dari sini, cerita itu mengalir, mengungkap sedikit demi sedikit fakta-fakta yang ada.
[Watu Ulo]
First up 1 April 2016
For PseuCom
Dan ketua enosiusFirst Revision 24 Desember 2018i
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Fiksi Sejarah[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...