Agisa's POV
"Sakit, Gis...."
Genggamanku pada tangan Dimas semakin erat. Aku panik. Sungguh. Keadaannya yang seperti ini sungguh membuatku tidak dapat berpikir dengan jernih. Dia terus mengerang selama hampir satu jam ini. Wajahnya memucat, bahkan peluh sudah menetes sepanjang lehernya.
Oh Tuhan, aku harus bebuat apa?
"Dim, kamu tahan ya sebentar. Aku ambilin obat dulu," ucapku tergesa-gesa. Aku segera pergi meninggalkan Dimas di dalam kamar. Menuju ke dapur untuk membuat obat herbal.
Bermodalkan lampu minyak, aku mengesampingkan rasa takut yang merayapi benak. Bukan, bukannya aku penakut berada di dapur seorang diri. Namun kalian tahu, ada kemampuanku yang menyebabkan beberapa makhluk tak kasat mata datang mendekat. Menganggu, dan paling menyebalkannya lagi, mereka ingin menarikku ikut ke dunianya.
Tengah malam seperti inilah yang paling memungkinkan makhluk-makhluk itu untuk datang.
Aku membuatkan segelas minuman herbal penghilang rasa sakit. Membawanya kembali ke dalam kamar. Dimas masih berbaring, dengan pandangan sayu, ia memerhatikanku datang.
"Ini, Dim. Minum dulu." Aku membantunya duduk, lalu memberikan gelas minuman itu padanya. Aku tahu ini tidak akan bertahan lama. Ramuan penghilang rasa sakit ini hanya akan bertahan selama beberapa jam saja. Tapi setidaknya, Dimas tidak akan merasa kesakitan seperti ini.
"Maaf ya, Gis. Aku nyusahin kamu," tutur Dimas lirih saat dia kembali merebahkan tubuh. Aku tersenyum, mengangguk. Kurasa sakit kepalanya sudah tidak separah tadi.
"Kamu tahu, Gis," tuturnya, "sudah banyak tabib yang obatin aku. Sudah banyak ramuan yang aku minum. Sampai bertahun-tahun, mereka semua nyerah sama aku. Keluargaku juga, mereka menyerah." Ia menerawang jauh. "Aku bahkan gak paham kenapa bisa sakit seperti ini. Rasanya menyakitkan setiap kali semua itu kambuh. Bahkan aku pernah berpikir, apa lebih baik aku mati aja," lanjut Dimas.
"Dim...." Aku menyentuh lengannya pelan, "kamu tahu, terkadang, manusia perlu tersesat untuk menemukan jalan yang benar. Sama kayak kamu, mencoba mencari berbagai cara untuk bisa sembuh. Sampai jalan paling salah pula sempat ada dalam kepala kamu."
Dimas terdiam mendengar perkataanku. Dia tersenyum tipis, lalu menatapku penuh. "Ya. Kamu benar, Gis. Bahkan pemikiran untuk mengakhiri hidup penah terlintas."
"Kamu jangan khawatir akan tersesat ke jalan yang salah. Kali ini ada aku, ada aku yang bakal jalan bareng kamu sampai semuanya jelas. Sampai kamu sendiri bisa mencari jalan yang benar."
Dimas tersenyum, lalu mengangguk. "Terimakasih, Gis. Terimakasih...."
Aku tersenyum tulus, lalu menemani laki-laki ini hingga jatuh tertidur. Jika aku boeleh berharap, ingin sekali aku meminta Tuhan untuk memberi hidup yang indah pada Dimas. Aku ingin bisa menyembuhkan penyakitnya, hingga senyum Dimas akan terus mengembang.
Semoga, dikehidupan Dimas selanjutnya, ia akan memiliki hidup yang bahagia.
[Watu Ulo]
First up 27 April 2016
First Revision 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Historical Fiction[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...