Dimas' POV
Aku terus menggenggam tangan Agisa erat. Pencahayaan yang minim membuatku takut untuk terantuk akar-akar yang melintang. Ditambah lagi, napasku masih sedikit berat untuk berjalan sejauh ini.
Sungguh kesialan yang menyebalkan. Jika saja penyakitku tidak kambuh begitu saja kemarin. Mungkin aku akan bisa menyusul Agisa ke pantai. Kenapa tubuhku harus selemah ini untuk bisa melindungi Agisa. Kenapa?
"Sebenarnya kita mau kemana, Gis?"
"Sudah lah. Ikuti saja aku. Kamu sudah bertanya pertanyaan yang sama sebanyak dua belas kali, Dim." Agisa terus menarik tanganku. Aku tahu ini berada di wilayah pesisir. Suara ombak dan bau air lautnya sangat jelas di indraku. Tapi untuk apa dia membawaku ke pantai seperti ini?
Pada akhirnya aku memilih diam dan tetap mengikuti Agisa. Berjalan menyurusi jalan yang bersisian langsung dengan pasir putih yang tetap terlihat jelas. Aku terkadang ingin menghentikan waktu. Saat-saat bersama Agisa ini yang paling aku sukai. Bersama dengannya membawa ketenangan yang tak pernah aku dapatkan jika bersama orang lain. Dia seperti obat penenang untukku.
"Ehm, Gis."
"Hmm?" Agisa menatapku.
Perasaan gugup menyelimutiku kala mata cokelat itu menatapku intens. Aku harus mengatakan sesuatu yang sudah seharusnya aku katakana sejak lama. "Sebenarnya, aku bukany berasal dari pulau ini."
Agisa masih diam. Ekspresinya masih sama, tak berubah. Masih memerhatikan apa yang akan aku katakana selanjutnya. "Dahulu, aku datang ke Jember hanya untuk mencari seorang tabib yanyg sangat terkenal. Tabib yang kata orang bilang, bisa menyembuhkan segala jenis penyakit. Tapi di balik semua pesonanya, ada rumor jika tabib itu tidak mau mengobati oranyg yang berasal dari luar daerah. Sepertiku.
Aku takut memberitahumu. Karena bahkan Ayahandaku tidak berharap aku berada di dunia ini karena penyakitku yang tidak diketahui oleh semua tabib membuatnya malu. Dia malu mempunyai anak sepertiku. Seakan ada kutukan yang menghinggapi pundaknya, padahal sudah jelas sekali ia ingin membangun kepercayaan di masyarakat," jelasku. Aku menghela napas sejenak sebelum kembali melanjutkan. "Suatu hari, abdiku mendengar mengenai citra dirimu. Aku nekat memaksa datang kemari, walau ancamannya aku tidak boleh kembali jika kamu bahkan juga tidak bisa mengobatiku."
Aku tersenyum miris. Mengusap ujung mataku yang berair dengan cepat. Lemah. Ya, aku sangat lemah. Aku bahkan tidak berani melihat ekspresi Agisa saat ini. Entah mengapa, aku takut melihat reaksi yang akan ia keluarkan.
"Aku tahu itu."
Aku menoleh dengan cepat. "Kamu tahu?"
"Ya, kemampuanku membaca pikiran itu sedari awal sudah memberitahu semuanya. Semua asal usul kamu dan alasanmu berada di sini," tutur Agisa dengan santai.
Aku tersenyum lebar. Lega rasanya sudah mengatakan hal itu. Walau pada akhirnya memang Agisa sudah mengetahui semua itu sejak lama.
Tiba-tiba, kabut tebal menyelimuti pantai. Kabut yang benar-benar terasa janggal di dalam benakku. Aku menggenggam tangan Agisa erat, mengantisipasi akan serangan yang mungkin terjadi di balik kabut setebal ini.
"Tenanglah, Dim. Aku tahu apa yang sedang terjadi saat ini." Agisa menyentuh lenganku lembut. Aku hanya bisa mengangguk samar.
Sedetik, dua detik, aku merasakan aura di pantai ini berubah. Melirik ke arah Agisa yang saat ini menutup matanya, aku dapat melihat dengan sangat jelas ada pendar kekuningan yang muncul dari tubuhnya.
"Kamu datang rupanya."
Ada suara sehalus sutera memasuki indra pendengaranku. Aku memerhatikan sekitar ketika kabut tebal itu memudar. Menyisakan seorang perempuan cantik berpakaian hijau tengah berdiri dengan santai di atas air laut yang tiba-tiba menjadi tenang.
"Aku datang untuk menerima tawaranmu kemarin malam," jawab Agisa pada perempuan berpakaian hijau itu.
Wanita itu tertawa. Ia berjalan dengan santai ke arah kami. Senyum manis yang ditampilkan perempuan itu membuatku merinding. Ada banyak tipu muslihat dibalik senyum cantik yang tengah ditampilkannya.
"Kamu sendiri tahu apa pertukarannya. Tidak hanya baju itu yang akan kuminta."
Aku menatap Agisa tajam. Apa-apaan ini? Sebenarnya apa yang sedang gadis ini dan wanita itu bicarakan. Perjanjian? Perjanjiaan apa yang melibatkan diriku di dalamnya.
"Apa ini, Gis? Perjanjian apa yang kamu lakuin sama dia?" Aku menggenggam tangannya kuat. Menuntut penjelasan atas hal yang membuat kepalaku terasa seperti dihantam batu berukuran besar.
Agisa menatapku sendu, lalu tersenyum. "Maaf, Dim. Tapi aku ngelakuin ini demi kamu. Supaya kamu bisa pulang tanpa penyesalan ke rumahmu nanti. Maaf aku nggak ngasih tau kamu."
"Tapi nggak gini caranya, Gis! Aku gak butuh pengorbanan kamu sampek kaya gini. Aku nggak mau kehilangan kamu!" Tanpa sadar aku meninggikan suaraku. Dadaku kembang kempis ketika merasakan amarahku masih berada di ujung.
Agisa hanya diam. Dia tidak melepaskan pandangannya dariku. Ada perasaan sakit ketika melihat tatapan gadis ini sekarang. Tapi aku sama sekali tidak bisa melepaskannya melakukan perjanjian yang entah apa itu. apalagi dengan wanita ini.
"Maaf, Dim. Tapi aku harus ngelakuin ini."
Dengan begitu Agisa melepaskan tanganku. Berjalan mendekati wanita berpakaian hijau itu, lalu lenyap bersama cahaya terang yang membuat kepalaku pening. Semuanya lalu menjadi hening. Dingin, dan terasa lebih kosong dari sebelumya. Aku sungguh tidak mengerti dengan apa yang saat ini terjadi. Namun perlahan, ada rasa hangat melingkupi tubuhku.
[Watu Ulo]
First up 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Historical Fiction[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...