Aku tersenyum manis saat mendengar cerita dari Kakek barusan. Manis sekali tindakan Agisa pada Dimas. Dia diam-diam menghanyutkan sekali.
"Senyum-senyum sendiri, hih, udah gila ya?" Bang Aris melemparkan tatapan takut padaku. Aku melemparkan kulit kacang padanya.
"Enak aja! Aku gak gila, aku cuman seneng denger cerita Kakek barusan. Romantis," tuturku sambil kembali tersenyum lebar.
Bang Aris menggeleng pelan. "Dasar ABG labil!"
Aku hanya menjulurkan lidah pada Bang Aris di sana. Dia sirik sekali, seperti dia bukan ABG saja. Jarak usia kami hanya terpaut dua tahun. Tapi dia seolah sudah seusia Kakek.
"Mas, temenin ke toilet yuk!" Ibuku bangkit berdiri. Menarik tangan Ayahku yang menatapnya bingung.
"Tumben minta temenin."
"Lagi merinding pergi sendirian." Ayahku hanya tertawa mendengar perkataan Ibu. Sepertinya malah Ibuku yang terbawa suasana cerita Kakek. Tapi tetap saja, Ayah berdiri dan mengikuti Ibu yang berjalan lebih dahulu mencari toilet umum.
"Malah Ibu yang jadi takut." Aku bersandar disebatang pohon, tepat berada di sampingku. Kakek mengangguk, tapi senyum lebarnya tidak hilang.
"Dari dulu Ibumu memang penakut seperti itu. Dia terlalu percaya hal-hal mistis," tutur Kakek. "Sudahlah, kembali ke cerita."
°°°°°°
Agisa's POV
Aku memasuki rumah dengan langkah pelan. Ugh, sungguh, tubuhku penat sekali. Rasanya seakan seluruh energiku ditarik keluar dari tubuh, hingga akhirnya hanya menyisakan raga kosong.
Berlebihan. Tapi memang itu yang sedang aku rasakan.
"Hahaha, Mbak Agisa lemes banget. Masa gitu aja udah K.O." Andes tertawa meledek. Dia berjalan lebih dahulu, dan dengan sengaja menabrakkan tubuhnya sedikit hingga membuatku terhuyung.
Cih, menyebalkan.
Asal kalian tahu, ya. Tadi Andes dengan sengaja menantang kami untuk berlomba memetik buah raspberry di sebuah pohon yang kami temukan. Tapi bukan itu masalahnya. Aku begitu kesal ketika mengetahui bahwa Andes dengan sengaja membuatku berlari ke atas sebuah bukit. Padahal ia tahu sendiri aku tak mampu berlari jauh. Apalagi menanjak.
Aku melemparkan sebuah raspberry ke arah Andes. Dia malah tertawa terpingkal ketika menangkapnya. Benar-benar adik yang baik, hmm.
"Kamu juga malah ketawa sama Andes!" Aku melotot menatap Dimas yang ikut tertawa. Laki-laki itu lalu mengatupkan mulutnya, namun bahunya masih bergetar karena sisa tawa.
Dia menghembuskan napasnya sesaat sebelum bicara, "lho, emangnya kenapa? Kan aku gak salah dong kalau ketawa."
"Salah! Salah kamu banyak hari ini," ucapku garang. "Udah hampir makan buah beracun, terus tadi bagian buah yang aku ambil malah kamu makan. Jadi kalah sama Andes 'kan." Aku menghentakkan kaki dengan kesal. Biar saja dia menganggapku kekanakan. Tapi sungguh, mood manusia ketika sedang lelah tak akan pernah bisa terkontrol.
Dimas mencoba menahan tawanya. "Ternyata itu alasan kamu marah. Ya udah, maaf, ya. Aku ngeliat buahnya jadi kepingin makan sih."
"Tapi jangan makan waktu lombanyaaa~ " aku merengek kecil. "Ish, sebel deh!"
"Eh eh eh, ini kenapa?" Ibuku datang menghampiriku. Mungkin efek dari suara ribut yang aku ciptakan. "Kamu kok marah-marah sih, Gis?"
"Itu Buk, Dimas bikin aku kalah waktu lomba lawan Andes metik buah," aduku pada Ibu. Biar saja aku mengadu seperti anak kecil. Tingkat kekesalanku sudah meluap kemana-mana.
"Ya ampun, Ibu kira ada apa. Kamu ini, udah gadis, masih aja suka marah-marah kayak anak kecil." Ibuku menerima keranjang buah yang dibawa oleh Andes. Aku turut memberikan bagian buahku juga padanya. "Kamu inget kan kata Ibu? Manusia itu dinilai dari akal, budi dan budaya. Kalau kamu masih suka merajuk kaya gini, kamu sama aja mirip Andes yang masih kecil."
"Bude, aku udah gede. Jangan samain kayak Mbak Agisa yang kayak anak kecil," protes Andes seraya mengerucutkan bibirnya. Aku tersenyum tipis, menahan agar ekspresi wajahku tetap terlihat kesal.
Tapi jujur, benar kata Ibu, seharusnya aku bisa bersikap lebih dewasa. Tidak kekanakan seperti ini. Hanya karena kalah dari seorang anak-anak seperti Andes saja membuatku marah-marah tak jelas. Menggelikan.
Aku lalu menghela napas panjang, lalu tersenyum lebar sebagai ganti ekspresi kesalku. "Besok makan kue raspberry!" seruku bersemangat. Andes turut berseru senang, Ibu dan Dimas tertawa melihatku dan Andes akhirnya bisa kembali berbaikan.
Ya, inilah aku dan Andes. Selalu bisa kembali ceria walau pertengkaran sesekali datang menghampiri.
[Watu Ulo]
First up 26 April 2016
First Revision 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Ficción histórica[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...