"Panas duh duh. Minggir minggirrr...." Aku berseru kencang lalu berlari ke arah pepohonan yang lebih rindang.
"Kenapa, Gi?"
"Sandalku putus kayaknya, Bang. Panas banget sumpah kena pasir." Aku melihat nasib sandal kiriku yang sudah putus. Dia meregang nyawa secepat ini? Mengerikan. Bagaimana caranya aku kembali ke mobil?!
Tapi yang perlu diperhatikan lainnya adalah kondisi kakiku. Kulit kakiku memerah dengan sangat tidak elit. Sepertinya efek pasir panas itu. Semoga tidak akan melepuh. Jika sungguh-sungguh melepuh, maka akan sangat mengerikan dengan luka sebesar ini.
"Udah kayak kepiting rebus kakimu, Gi. Tunggu sebentar." Bang Aris berlari menuju ke arah Ibuku yang masih berdiri di bawah terik matahari bersama yang lainnya. Bang Aris meminta sebotol air yang dibawanya lalu kembali ke arahku.
"Aku gak haus, kenapa ambil air?" tanyaku padanya.
"Cerewet banget sih. Udah diem, ini biar kakimu gak melepuh." Bang Aris menyiram kakiku yang memerah sedikit. Membiarkan rasa dingin itu singgah sebentar lalu meraih daun daunan yang tak jauh dari tempat kami. Dia meremas daun itu lalu memberi sedikit air. Entah daun apa, tapi mengekuarkan lendir-lendir yang cukup banyak.
"Itu daun apa sih? Kok serem," kataku seraya menatap tangan Bang Aris ngeri.
"Daun apa ya, lupa. Tapi ini bisa bikin kakimu gak kepanasan banget kayak tadi. Atau malah bisa bikin kakimu yang sudah kayak kepiting rebus makin enak buat di makan." Bang Aris membubuhi kakiku dengan daun berlendir itu. Kurang ajar! Memangnya dia akan memakan kakiku, apa?!
Dingin. Daun itu terasa dingin di kulit kakiku yang memerah. Luar biasaaa.
"Untung aku bawa sandal gunung buat jaga-jaga. Ternyata beneran di butuhin." Bang Aris mengeluarkan sepasang sandal dari dalam tas ransel yang sedari tadi ia bawa. Heh, aku sama sekali nggak sadar kalau isi tas Bang Aris ternyata berguna juga.
Aku mengenenakan sandal yang ia berikan. Yah, walau sungguh terlalu besar di kakiku, setidaknya ini cukup membantu. Selain kakiku terhindar sepenuhnya dari pasir panas, sandal ini bisa aku gunakan untuk nimpuk Bang Aris jika macam-macam. Hahaha.
"Makasih, Bang. Aku kira isi tas Bang aris nggak guna. Hehehe." Aku nyengir.
Bang Aris memutarkan bola matanya sebelum menarikku berdiri. "Udah ayo. Jangan kelamaan di sini."
Aku hanya menurut ketika Bang Aris mengajakku kembali ke arah rombongan. Ayah dan Ibuku malah sibuk berfoto dengan kamera ponsel.
"Kamu kenapa tadi, Gi?"
Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaan Nenek. Ingin memastikan jika Ibuku tidak mendengar apapun. Kalian tahu sendiri bagaimana reaksinya ketika melihatku kembali dengan kepala benjol tadi.
"Astaga, itu kenapa kakimu, Gi?" Ibu bertanya dengan panik. Hah, baru saja tadi aku mewanti-wanti agar tidak diketahui Ibuku.
"Ngga papa, Bu. Cuman kepanasan aja tadi."
Ibu hanya menggeleng sambil berdecak lidah. "Makanya, 'kan tadi udah dikasih tau dari awal. Jangan pake sandal yang model begituan. Putus 'kan akhirnya."
Aku hanya mengangguk. Ya siapa yang tahu jika akhirnya sandal kesayanganku itu akan putus. Kebanyakan pantai yang kudatangi tidak seperti di tempat ini. Ini termasuk salah satu pantai yang terlalu ekstrem.
"Terus itu kakimu melepuh nggak?"
Aku menengok ke arah kakiku yang berlumuran daun. "Untungnya engga, Buk. Tadi di kasih daun gitu sama Bang Aris."
"Untung Aris bawa sandal lagi itu. Kalau engga, pasti kamu nyusahin orang terus."
Aku mengerucutkan bibir kesal. Ini 'kan di luar sepengetahuanku. "Kalau aku tahu dari awal bakal putus gitu, gak tak pakek, Buk."
"Jadilah orang yang mencari jalan, bukan yang mencari alasan, Gi. Kamu 'kan udah Ibu kasih tau di rumah tadi. Seharusnya bisa mikir, alasan Ibu kasih tau kamu." Ibu menggelengkan kepala pelan. Tuhkan, aku yang jadi di salahin. Mana pernah bener aku di mata Ibu?
"Udah ah, jangan dimarahin lagi si Agi. 'Kan yang penting kakinya ngga papa, terus dia juga ga nyusahin orang 'kan," ucap Kakek pada Ibu.
Cuman Kakek sepertinya yang mengerti diriku sepenuhnya. Love you Kakek.
Ibu lalu menghela napas, tapi senyum merekah di wajahnya. Ini berarti Ibu memaafkanku."Emang panas banget di sini pasirnya. Mungkin kalau aku bawa kerupuk, terus di taruh di pasir, bisa mateng beneran," celoteh Bang Aris. Dia sepertinya terpengaruh cara pembuatan kerupuk pasir yang ditayangkan di TV beberapa hari lalu.
"Seharusnya kamu bawa kerupuk gitu, Ris. Nanti Nenek yang makan." Nenekku tertawa saat mengatakan hal itu.
Bang Aris menggelengkan kepala tegas, "Enggak boleh! Nenek gak boleh makan kerupuk banyak-banyak. Nanti batuk 'kan susah, Nek," tutur Bang Aris.
Aku dan yang lainnya tertawa kecuali Nenek. Dia mengerucutkan bibir sama sepertiku dan memukul lengan Bang Aris pelan.
"Dasar kamu, Ris!"
[Watu Ulo]
First up 3 Mei 2016
First Revision 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Historische Romane[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...