"Kalian lama banget ke toiletnya."
Aku menghela napas pelan saat mendengar pertanyaan dari Ibu. Di sampingku, Bang Aris hanya diam sambil berlalu kembali ke mobil dan membawakanku minyak kayu putih. Tentu saja itu membuat Ibuku bertanya-tanya. Ia sangat paham jika Bang Aris paling tak suka aroma minyak kayu putih.
"Itu kenapa Agi? Kepalanya kok benjol gitu?" tanyanya padaku. Ibu menghampiriku dan menyentuh dahiku yang tertutup rambut. Padahal aku sudah mencoba menyamarkany benjolanku ini. Apa sebegitu jelasnya? Apa benjolnya sudah sebesar bola kasti?!
"Habis kena lempar bola, makanya benjol gitu." Bang Aris menjawab dengan nada malas. Antara emosinya masih berkumpul di dada, dengan geram melihatku diam saja tidak ada bedanya. Nada bicara Bang Aris sama sekali tak enak didengar, padahal bukannya tadi ia sudah biasa saja.
"Ha?! Kok bisa?"
"Udah ah, Bu. Aku gak papa juga kok." Aku menyingkirkan tangan Ibu dari dahiku.
"Gak sengaja kena, Budhe. Tapi orang yang nendang songong banget, bikin pengen jitak kepalanya," balas Bang Aris. Aku sedikit menahan tawa saat mendengar perkataan kesal dari Bang Aris barusan. Dia kesal, tapi juga membuatku ingin tertawa. Bahkan Ayah dan Kakek tertawa mendengar hal itu.
"Agi yang kena kok kamu yang marah, Ris?" tanya Ayahku. Ia tersenyum kecil melihat bagaimana kesalnya Banyg Aris.
Bang Aris mengacak rambutnya, mungkin ingin membuat gaya rambut baru? "Mereka minta maaf gak ikhlas banget."
"Mereka?"
"Iya, Yah. Ada dua orang. Padahal orang yang satu sudah minta maaf ke aku. Tapi Bang Aris malah cari masalah ke orang yang satunya." Aku mengedikkan bahu sekilas. Lalu menunduk seraya memilin ujung pakaianku.
"Siapa yang cari masalah? Orang emang mereka berdua salah, yang satunya gak mau minta maaf. Gimana coba?" balas Bang Aris padaku.
Ugh, kadar protective Bang Aris sepertinya masih tinggi. "Iya, Bang. Iyain aja biar Bang Aris seneng."
"Kon iki tak belani malah ngono. Makasih dikit bisa kek." Bang Aris melemparku dengan beberapa kacang yang tergeletak di atas karpet. Aku tertawa dan menghindari serangan tiba-tiba itu.
(Kamu ini aku belain malah gitu.)"Hahaha ... iya Bang, iya. Makasih ya Abangku cayaaang." Aku mencubit kedua pipi Bang Aris gemas. Ngomong-ngomong, pipi Bang Aris terasa enak untuk di cubit seperti itu. Walau tubuhnya terlihat biasa saja, tapi pipinya cukup untuk memiliki lemak beberapa senti.
"Jangan cubit-cubit! Makin gede ntar pipiku kamu cubit gitu," ucap Bang Aris seraya melepas cubitanku. Aku hanya terkikik geli. Itu adalah hal yang tidak akan mungkin aku hentikan. Pipinya adalah aset terbaikku untuk meledeknya.
"Dasar kalian. Baru aja berantem-berantem, eh udah baikan lagi kayak gak ada apa-apa." Kakek menggeleng dan tersenyum melihatku. Tentu saja, aku tidak akan mungkin bisa bertahan lebih lama melihat Bang Aris marah seperti itu. Aku ingin melihat Bang Aris selalu tersenyum. Karena dia adalah saudara kandung dalam batin, walau kami tak sedarah.
[Watu Ulo]
First up 27 April 2017
First Revision 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Historyczne[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...