Ketika aku sibuk merapikan kendi-kendi tempat menyimpan beberapa herbal, aku teringat ekspresi Dimas ketika acara larung sesaji kemarin lusa. Ekspresinya sedih, namun berubah begitu saja ketika melihatku datang.
Entahlah, dia tak membicarakan apapun kepadaku setelahnya. Namun harus kalian tahu, semua isi pikiran Dimas bisa aku ketahui dengan mudah. Walau ia tidak ingin mengatakannya, isi pikiran Dimas terngiang memasuki telingaku.
Saat itu, ada seseorang datang menemuinya. Seorang laki-laki yang entah kenapa sungguh Dimas tidak sukai. Mengatakan beberapa hal, sebelum akhirnya Dimas meninggalkan laki-laki itu tanpa sepatah kata lain lagi. Aku tahu, ada rasa sakit dan sesak ketika semua isi pikirannya masuk kedalam otakku. Seakan semua rasa kecewa dan sedih milik Dimas juga tersalur dengan begitu apik kepadaku
"Buk, aku ke sungai dulu ya," pamitku ketika melihat Ibu baru saja keluar dari dalam kamar.
"Lho pagi banget, Gis. Ibuk kan' belum masak sama beres-beres rumah." Ibuku terlihat kelimpungan.
Memang sih, biasanya aku dan ibuku pergi bersama untuk urusan mencuci pakaian. Biasanya kami pergi bersama setelah semua keperluan rumah sudah beres. Padahal jika ibuku sadar, rumah ini sudah bersih dan aku sudah memasak nasi. Walau belum dengan lauknya juga.
"Nggapapa, Buk. Aku pergi sendiri aja. Kan' itu di dalem masih ada Dimas. Nanti siapa yang jagain dia di rumah?"
Ibuku berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Ya udah deh. Biar Ibuk yang masak di rumah sekalian jaga Dimas. Jangan sore-sore ya, Nduk."
Aku mengangguk, lalu mengambil sekeranjang besar pakaian dan memanggulnya di atas kepala. Ya, sejak keberadaan Dimas, pekerjaan rumahku menjadi bertambah. Selain masakan rumah harus bertambah satu porsi, tugas mencucipun bertambah pula.
Jarak antara sungai dan rumahku ditempuh dalam waktu setengah jam. Lumayan juga jika membawa bawaan berat seperti ini. Belum lagi pulangnya. Tak terbayang seberapa berat pikulanku nanti.
Kurasa, aku berangkat sudah cukup lebih pagi. Tapi ternyata di sungai sudah ada beberapa ibu-ibu yang mencuci pula. Seraya mengobrolkan banyak hal, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Inilah yang terkadang aku sukai setiap pergi ke sungai. Selalu ada kehangatan lain yang tercipta antara aku dan penduduk lain.
"Eh Mbak Agisa. Tumben sendirian, biasanya sama Ibuknya." Salah seorang ibu-ibu menyapaku. Aku tersenyum sebagai balasan. Dia salah seorang tetanggaku. Berjarak sekitar dua ratus meter.
"Iya Budhe. Ibu beres-beres rumah sama masak, jadinya saya yang harus bertugas mencuci pakaian," jawabku. Aku meletakkan pakaian di atas bebatuan besar, melipat sedikit rok yang kukenakan sebelum mulai mencuci pakaian.
"Eh iya, ya. Mbak Agisa ada saudaranya di rumah. Pantesan aja Ibuknya gak ikut." Ibu-ibu itu tadi kembali menimpali. Aku hanya dapat tersenyum mahfum. Diam tanpa berkomentar.
Sudah bukan rahasia umum jika dirumahku ada seorang penghuni lagi. Selama ini aku selalu hanya hidup berdua dengan ibuku. Lalu beberapa hari lalu ada seseorang yang datang dan tinggal di rumahku. Ya, tidak ada yang tahu bagaimana Dimas bisa tiba dirumahku. Mengenai aku menemukannya di hutan, hanya diketahui oleh beberapa orang saja.
Aku ingin menjaga nama baik Dimas. Setidaknya untuk beberapa hal yang sudah aku ketahui.
[Watu Ulo]
First up 27 April 2K17
First Revision 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Historical Fiction[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...