Aku menghela napas kesal. Bang Aris menyindirku tentang sifat Agisa yang penurut pada Ibunya. Cih, dia pikir aku tidak penurut gitu? Dia tidak berkaca.
" ... liat aja tuh, waktu itu malah marah-marahin Bude gara-gara dia ga dibawain martabak manis."
Aku mengacak rambutku kesal. Cukup sudah. "Bang Aris diem bisa gak sih? Bawel banget kek tante-tante arisan!"
"Tuhkan tuhkan, bukannya ngedengerin malah ngatain bawel."
"Kalau Bang Aris gak bisa diem, mending aku yang pergi dari sini!"
"Heh, kalian malah bertengkar. Udah-udah, Aris jangan godain Agi lagi. Kamu itu udah tau Agi kaya gitu malah digodain mulu," ucap Nenekku menengahi. Aku menjulurkan lidah saat melihat wajah keruh Bang Aris yang disalahkan oleh Nenek.
Memang pantasnya Bang Aris disalahkan. Dia mengatakan aku pembantah pada orangtua sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kejadian martabak manis? Itu sebenarnya aku sangat kesal pada Ibu. Aku sudah menitipkan uang padanya untuk membelikan martabak manis rasa keju dan cokelat. Tapi malah membawa martabak kacang. Ibu lupa jika aku alergi kacang, dan aku berakhir sesak napas karenanya.
"Nenek kalau belain Agi terus, dia bisa keenakan. Manja jadinya tuh kayak sekarang." Bang Aris membuang muka ke arah lain saat aku menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Kalau Agi yang manja itu gak aneh. Kalau segede kamu manja, itu perlu dipertanyakan," balas Kakek pada Bang Aris. Benar tuh, dia gak sadar umur kalau mau menyindirku.
"Udah, jangan nyerang aku semua. Lanjut aja ceritanya," ucap Bang Aris acuh tak acuh. Dia marah, tapi terlihat lucu bagiku.
Kakek tersenyum lebar melihat Bang Aris seperti ini. "Ya udah, jangan marah lagi."
°°°°°°
"Keren, Ibunya Andes kepoan," ucapku seraya terkikik ketika Kakek sempat mengatakan jika Ibu Andes datang menjemput anak laki-laki itu. Ibu Andes tidak hanya bertanya siapa Dimas, tapi juga bertanya apakah Dimas adalah calon suami Agisa.
Nenek dan Kakek tertawa, kecuali Bang Aris yang sibuk bermain ponselnya. Dia masih saja merajuk. Tak lama Ibu dan Ayahku kembali, mereka membawakan beberapa bungkus camilan yang sepertinya mereka beli saat pergi ke toilet tadi. Waaah ... surga duniaaa.
"Ini buat Agi, keripik kentang seperti biasa." Ibu menberikan sebungkus keripik rasa rumput laut padaku. Aku bersorak senang, Ibu tahu saja apa yang aku suka.
"Kalau gini seneng, coba salah dibawain, bakal ngomel-ngomel dia," sindir Bang Aris dengan ekspresi datar. Aku mengerucutkan bibir, dia masih saja membahas hal itu.
Melihat perubahan suasana antara aku dan Bang Aris, Ayahku bertanya, "lho, ini kenapa? Aris sama Agi berantem ya?"
"Iya, tadi mereka argumen, terus Ibumu ini belain Agi, eh Aris ngambek," tutur Kakek menjelaskan. Lalu tertawa, begitu pula Ayah dan Ibu.
"Astaga, kirain kenapa," Ayahku menggelengkan kepala."Jangan gitu, Ris. Kamu udah gede masa iri sama Agi yang dibelain sedikit?" tutur Ayahku tertawa geli.
"Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau, Yah," balasku seraya melirik Bang Aris.
"Rumput apanya? Kamu kira aku kambing, apa? Doyan sama rumput." Bang Aris mematikan ponselnya, lalu merebut keripik kentangku. Aku tidak protes, kenapa? Karena masih ada sebungkus lainnya yang masih utuh. Ibu membeli dua bungkus rasa yang sama, tahu jika aku dan Bang Aris menyukai keripik seperti ini.
"Yang merasa aja sih."
Semua orang tertawa mendengar hal itu. Setidaknya Bang Aris tidak marah lagi sekarang. Dia bisa tertawa kembali walau tadinya tidak mau menatap mataku. Dasar Bang Aris.
[Watu Ulo]
First up 26 April 2017
First Revision 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Historical Fiction[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...