"ABANG! JOROK ISSH...." Aku beringsut menjauh dengan cepat ke arah Kakek.
"Heh, gak usah teriak bisa kali. Lebay banget."
Aku menggeleng tegas seraya bergidik jijik dan geli bersamaan. Bang Aris baru saja menjadikanku lap tangannya yang penuh bumbu keripik kentang. Jika hanya bumbunya saja aku tidak akan berteriak seperti itu, tapi ini Bang Aris sempat menjilatnya lalu menjadikanku lap. Itu menjijikkan!
"Abang kalau jorok gak usah ke aku jugaaaaa ... jijik iish."
Aku bersembunyi di balik badan Kakek saat Bang Aris menggodaku dengan mendekatkan tangannya yang habis ia jilat. Maafkan aku Kek. Cucumu yang satu ini sampai memotong cerita karena kegilaan Bang Arisㅡyang notabene cucu laki-laki pertamanya dan lebih freaky.
"Eh udah udah Aris. Kamu cuci tangan sana, jorok banget," tutur Nenekku menengahi. Oh Nenek, Agi sayang Nenek!
Bang Aris tertawa lalu bangkit berdiri seraya membawa satu gelas air mineral. Dia tidak suka menyentuh air dari toilet daerah pantai. Katanya, air di sekitar sini masih terkontaminasi laut. Jadi air yang ada masih terasa asin dan lengket jika terkena kulit. Katanya bisa bikin gatal-gatal. Padahal itu sih karena kadar kejorokannya meningkat, makanya gatal.
"Lagi seru dengerin Kakek juga, Bang Aris malah bikin jijik." Aku menggeleng tak mengerti, lalu kembali duduk. Tapi kali ini aku duduk lebih menjauh dari Bang Aris. Supaya kebiasaannya yang jorok tidak jatuh padaku.
"Kamu kaya gak tau sepupumu itu, Gi. Dari kecil emang suka godain kamu, Nduk," tutur Nenek padaku saat Bang Aris kembali dengan tangan yang sudah bersih.
"Apanya yang aku godain Agi?" ia bertanya-tanya.
"Anunya," balasku sekenanya.
Bang Aris mengernyitkan dahi, dia berpikir keras sekali sepertinya. Wajahnya lucu jika seperti itu. "Anu? Anu apaan?"
"Masa gak tau anu?" Aku menaikkan sebelah alis seraya memberi tatapan menantang pada Abangku itu. Biasanya, laki-laki jika berhubungan dengan kata 'anu' selalu pergi kemana-mana.
"Anu dalam pikiranku berhubungan sama sama hal-hal kotor." Bang Aris menerawang jauh, lalu mengedikkan bahunya acuh. Tuhkan!
"Hiiii ... Bang Aris mikir kotor!" seruku keras.
Sepupu laki-lakiku itu tiba-tiba melotot tak terima, dia meraih tubuhku lalu menghujami dengan gelitikan. "Kamu ini yang mikir kotor. Sekarang rasain nih jurus gelitik!"
Aku semakin tertawa saat Bang Aris menggelitiki tubuhku. Sungguh ini membuatku gilaa. "Ampun Bang hahaha ... aku gak kuat ... hahaha...."
"Eh uwes-uwes, brebeken heh Ris. Agi lek ngguyu gak iso alon."
(Eh, udah-udah, berisik Ris. Agi kalau tertawa gak bisa pelan.)Bang Aris menghentikan aksinya saat Nenek berbicara barusan. Aku menyeka air mata yang keluar karena tertawa sedari tadi. Capek banget sumpah. Padahal cuman ketawa dan itu nguras tenaga. Cocok jadi olahraga sampingan.
"Udah ah, dengerin Kakek cerita lagi aja." Aku membetulkan letak pakaianku yang sedikit kusut lalu duduk dengan tenang. Tapi sesekali masih sering menarik napas panjang. Efek tertawa terlalu lama.
[Watu Ulo]
First up 26 April 2016
First Up 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Historical Fiction[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...