Dingin. Gelap. Sunyi.
Tiga kata itu yang mungkin tergambar di benakku saat ini. Tunggu, kenapa bisa begini? Aku mencoba mengingat hal apa yang terakhir kali terjadi hingga semua menjadi terasa dingin seperti ini.
Gempa, ombak, lalu gelap....
Oh astaga?! Apa aku sudah mati karena ombak itu? Tapi kenapa gak sakit ya? Apa rasanya mati se-dingin ini? Tidak, tidak, itu gak mungkin.
Tuhan, apa aku terlalu nakal hingga Engkau tidak mendengar doaku tadi? Aku takut. Apa ini karena aku dulu pernah berkata ingin mengetahui bagaimana rasanya mati? Benar kata Ibu, ucapan adalah doa, maka dari itu ucapkanlah hal yang baik.
"Hahahahaha...."
Aku mendengar suara tawa. Melengking sekali. Ehm, terdengar seperti tawa kuntilanak yang digambarkan dalam film. Aku menggerakkan kaki sedikit, terasa pasir pantai menyentuh telapak kakiku dengan santai. Di mana sandal Bang Aris?
"Aku datang hanya untuk mencari pakaianku. Bukan untuk hal lainnya, apalagi meminta sebuah kesembuhan," ucap suara lain. Suara ini terdengar lebih tenang, tapi terdengar keraguan di setiap katanya. Aku berjalan lebih dekat di antara kabut yang tebal, kenapa ada orang lain di tempat ini?
"Jangan membohongi diri sendiri, Sayang. Ada seorang laki-laki manis menunggumu di rumah, bukan? Dan laki-laki itu sakit parah. Kamu saja tidak tahu apa penyakitnya, bagaimana caramu menyembuhkan laki-laki itu?" tanya suara lainnya.
Aku berhenti bergerak. Ada seorang perempuan cantik berdiri menatap kosong ke depan. Dia menggenggam sebuah bunga di tangannya, tapi sama sekali tidak ada orang lagi selain gadis itu.
"Aku memang tidak mengetahuinya, tapi aku percaya Dimas akan sembuh dengan perlahan," ucapnya lirih.
Tunggu, Dimas? Sepertinya aku pernah mendengar nama laki-laki itu. Lalu mendengar beberapa hal sebelumnya, apa ini masa lalu Agisa? Cerita yang Kakek dongengkan padaku dari tadi?
Gadis itu lalu menoleh ke kiri. Tepat ke arahku berdiri. Dia menatap ke mataku, lalu tersenyum kecil. Apa dia melihatku berdiri di sini?
"Gadis baik, gadis baik. Tapi apa kamu yakin, Sayang? Kamu tahu, kamu bisa mendapat kesembuhan untuknya dariku."
Kali ini kabut itu perlahan menghilang. Menyisakan cahaya bulan yang menyelimuti dua orang yang berdiri berhadapan di sana. Satu yang kutahu adalah Agisa, dan yang satu lagi memakai kebaya hijau simple dengan beberapa perhiasan. Tapi yang paling mencolok adalah tusuk rambutnya berbentuk kuda dari emas.
Wanita muda yang cantik, tapi mengingat tawanya yang seperti kuntilanak, sangat disayangkan.
"Tidak, terimakasih. Tapi jika saya membutuhkannya, mungkin saya akan datang kemari menemui Nyai bersama Dimas." Agisa tersenyum kecil pada abdi yang berdiri di depannya. Jika abdinya saja secantik ini, bagaimana dengan Nyi Roro Kidul? Pasti lebih cantik dan luar biasa.
"Ya, ya, aku tahu itu. Tapi batas tawaranku hanya dua puluh empat jam dari sekarang. Tidak ada tawaran lebih. Datanglah kemari jika kamu sudah tahu apa yang kamu mau tukarkan. Maka pakaian itu akan kembali padamu," tuturnya lembut tapi terasa menusuk.
Apa seperti ini kemampuan manusia zaman dahulu? Bisa bertemu dengan abdi Nyi Roro Kidul yang terlihat cantik.
Tiba-tiba ada suara memasuki kepalaku, "Jangan terbuai kecantikannya. Atau jiwamu akan terdeteksi dan ia bawa ke alam lain."
[Watu Ulo]
First up 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Historyczne[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...