Dimas' POV
"Mbak Agisa, jadi 'kan?" Andes dengan pakaian rapi datang menghampiri Agisa dengan semangat. Ekspresi cerah yanyg ditunjukkan anak ini sungguh sangat menjelaskan jika ia sedang senang.
"Jadi toh, Ndes. Ini Mbak tinggal ambil buahnya di belakang."
Aku sungguh senang melihat penampilan Agisa hari ini. Kebaya berwarna merah muda cantik dengan beberapa renda menghiasi bagian dada dan perut. Membuat penampilan Agisa terlihat lebih kalem dari biasanya.
Andes yang tadi menghilang sejenak, sudah kembali dengan sekeranjang buah. "Ini, Mbak. Udah tak ambilno," tutur Andes seraya memberikan keranjang berisi buah-buahan itu pada Agisa.
"Yowes, ayo, Ndes. Ibuk udah nunggu ndek rumahmu pasti. Udah ngerumpi-ngerumpi sendiri." Agisa memanggul keranjang buah itu di atas kepalanya, lalu berjalan terlebih dabhulu.
Aku mematung melihat Agisa memanggul keranjanyg buah besar itu dengan mudah. Andes menepuk punggungku pelan, menyadarkanku dari ketersimaan melihat Agisa seperti itu.
"Mas Dimas nggapapa?"
Aku menggeleng pelan. Mengusap wajah perlahan. "Aku cuman kaget Agisa gampang banget manggul buah kayak gitu di kepala."
Mendengar penuturanku, Andes malah tertawa. "Udah biasa Mbak Agisa gitu, Mas. Mas Dimas belum aja liat Mbak Agisa ngangkat dua ember air tiap hari dari gunung waktu kemarau."
Aku hanya menggeleng pelan. Mengajak Andes untuk mengikuti Agisa setelah memastikan pintu rumah sudah terkunci.
Semalam, Agisa mengajakku untuk ikut ke acara tahunan desa ini. Ada larung sesaji yang wajib diadakan setiap pertengahan tahun. Kebetulan sekali perayaannya diadakan hari ini.
Ketika aku, Agisa dan Andes berjalan bersama. Beberapa orang secara teranyg-terangan melirikku seraya berbisik. Entahlah, aku rasa mereka bingung melihatku dekat dengan Agisa, hingga tinggal di rumahnya pula.
Masalahnya, mereka tidak benar-benar berbisik. Aku bahkan dapat dengan sangat jelas mendengar percakapan mereka saat ini. Ibu-ibu itu niat bisik-bisik apa enggak sih? Kok gak niat banget.
"Eh itu siapanya Agisa?"
"Calon suaminya mungkin."
"Ganteng juga ya."
"Katanya sih udah tinggal serumah."
"Ckckck ... anak gadis kok tinggal serumah sama orang asing gitu."
Bla blab la
Aku tidak mendengarkan lebih jauh. Percakapan mereka sama sekali tidak bermutu. Ibu-ibu yang hanya bisa menggunjing tanpa tahu kebenarannya seperti apa. Sebenarnya aku juga kasihan pada Agisa dan ibunya. Mereka hanya tinggal berdua, lalu tiba-tiba aku datang dan diakui sebagai saudara oleh mereka.
Tentu, tidak akan ada orang yang percaya begitu saja. Buktinya bahkan saat ini mereka menjadi bahan perbincangan tidak bermutu ibu-ibu itu. Aku jadi merasa sedikit bersalah pada Agisa dan ibunya.
"Mas Dim."
"Hm? Kenapa, Ndes?" Aku menoleh pada anak laki-laki itu.
"Mbak Agisa cantik ya hehehe." Andes malah nyengir lebar setelah mengatakan hal itu.
Aku memutar bola mata malas. Yang benar saja.
"Pertanyaan kamu nggak ada yang bener apa, Ndes? Masa nanyanya kayak gituan."
"Yaaa, kan aku nanya apa yang ada di kepalaku, Mas. Makanya aku nanya langsung ke Mas Dimas."
Walau aku membenarkan seratus persen untuk perkataan Andes barusan. Tapi aku tidak mungkin mengatakannya secara langsung. Bisa jatuh pesonaku di depan anak-anak seperti Andes.
Lebih baik aku mengalihkan percakapan ini.
"Eh ayo, Ndes. Itu Ibumu sama Ibunya Agisa udah nunggu di depan."
Aku melangkah lebih cepat. Mendatangi dua ibu-ibu dengan seorang gadis yang masih memanggul sekeranjang buah-buahan. Mereka semua terlihat cantik. Kecantikan dari perempuan-perempuan yang berbeda generasi.
"Nah itu Dimas sama Andes. Ya udah yuk berangkat. Ntar makin rame tempatnya."
Aku hanya diam mengikuti di belakang tiga perempuan yang memanggul bawaannya masing-masing. Untung saja letak lokasi larung sesaji itu tidak terlalu jauh. Perhitunganku jika tidak meleset, mungkin perjalanannya memakan waktu 45 menit.
"Dimas sama Andes tunggu di tempat acaranya dulu ya. Aku sama Ibuk mau nyerahin ini dulu," tutur Agisa padaku.
"Ya udah, aku sama Andes ke sana." Agisa hanya mengangguk lalu pergi menuju salah satu bangunan yang sudah ramai dengan orang-orang yang membawa berbagai macam bawaan.
Aku menggandengn tangan Andes agar lebih mudah menjaga anak ini dari ramainya pantai pagi ini. Dia tidak protes, tentu, karena aku sudah mengancam akan mengadukannya pada Agisa jika anak ini doyan pergi dari rumah setiap tengah malam. Hahaha, keuntunganku pernah terbangun tengah malam dan melihat Andes mengendap-endap di belakang rumah Agisa.
"Rame banget ya, Mas."
Aku mengangguk sebagai jawaban. Setelah berjuang melewati ramainya lokasi penyerahan barang-barang yang akan dilarungkan. Aku dan Andes memilih duduk di salah satu kursi yang ada di pinggir pantai. Berteduh dari sinar matahari tentunya.
"Raden Adimas?"
Aku tertegun ketika ada seseorang yang memanggil namaku seperti itu. Aku menoleh, mendapati seorang laki-laki paruh baya yang tersenyum sangat lebar.
"Akhirnya saya menemukan Raden. Sungguh, saya khawatir mencari Raden kesana kemari di wilayah asing ini," tuturnya dengan semangat.
Aku melirik Andes yang diam dengan ekspresi bertanya-tanya mengenai keberadaan adipatiku ini. Ya, dia seseorang yang seharusnya selalu bersamaku. Namun karena satu atau dua hal, aku berakhir bersama Agisa.
"Kita cari tempat yang lebih tenang untuk bicara," tuturky padanya. "Andes, kamu tunggu di sini dulu ya. Jangan kemanya-mana sampai aku atau Agisa datang." Andes hanya mengangguk patuh sebagai jawaban.
Setelah memastikan Andes tidak mengikuti kami, aku membawanya kebelakang salah satu rumah penduduk yang sepi. "Apa maumu kali ini?"
Dia menatapku tak mengerti, lalu mengubah ekspresinya menjadi normal kembali. "Bukankah tugas saya di sini memang untuk menemani, Raden?"
"Lalu apa? Memaksaku kembali ke rumah?" balasku sedikit sarkastik.
Yah, secara harfiah memang aku memiliki rumah. Namun dalam hatiku, itu bukanlah sebuah rumah. Rumahku yang sebenarnya adalah bersama Agisa. Bukan dengan mereka-mereka yang bahkan tidak menganggap keberadaanku.
"Maaf Raden, bukan maksud saya mengatakan hal ini. Tapi titah Prabu memang mengutus saya untuk memastikan Raden baik-baik saja hingga dapat kembali ke istana."
Aku berdecak mendengar perkataannya. "Bukan memastikan baik-baik saja. Maksud Ayahku pasti memastikan agar aku tidak berulah hingga membuatnya malu," timpalku.
Dia hanya diam. Sedikit merunduk tanpa mengatakan apapun atas perkataanku barusan. Hah, sudah kuduga jika itu benar. Ayahku tidak akan mau repot-repot mengurusi anak berpenyakit sepertiku. Dia juga tentu tidak ingin orang lain mengetahui jika anak penyakitan ini adalah putranya.
"Sudahlah Adipati. Biarkan aku di sini hingga aku mati. Bahkan kau tak perlu repot-repot melaporkan setiap keadaanku pada Prabu. Aku tidak akan memberinya aib memalukan."
Biarlah aku seperti ini. Aku sudah lelah dengankehidupanku sebelumnya. Biarkan aku di sini. Tenang bersama Agisa dan keluargakecilnya itu.
[Watu Ulo]
First up 26 April 2016
First Revision 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Ficción histórica[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...