Agisa's POV
"Eh, eh, astaga bajuku!" Aku berseru panik ketika salah satu pakaianku terhanyut air.
Itu baju kesayanganku yang dahulu dibelikan Bapak. Astaga, kenapa aku bisa seceroboh ini? Bagaimana aku tidak sadar jika pakaian itu tergelincir jatuh? Ditambah lagi sungai ini sudah mulai sepi. Hanya ada aku dan dua ibu-ibu yang berada di hulu sungai. Cukup jauh letaknya dari posisiku mencuci pakaian.
Aku membereskan semua pakaian yang sudah dicuci kedalam keranjang. Menepikan semuanya di pinggir, lalu menyembunyikannya pula dibalik semak-semak. Aku harus segera mengejar pakaian itu jika tidak ingin semakin jauh terhanyut.
Menyusuri pinggiran aliran sungai dengan hati-hati, aku terus mencari di sebelah mana pakaianku akan lewat. Sialnya, bagian hilir dari sungai ini terlalu rimbun ditumbuhi semak-semak. Menyulitkanku untuk mendekat ke arah pinggiran sungai.
"Bagaimana ini...." aku bergumam lirih.
Ini sudah mulai gelap. Aku juga sudah terlalu jauh berjalan menyusuri sungai tanpa ada kejelasan. Ini buruk. Padahal sepanjang sungai hanyalah bebatuan, dan hampir keseluruhan sungai ini dangkal. Seharusnya pakainku akan terlihat dengan mudah. Ditambah sepanjang aliran sungai ini banyak ditumbuhi semak-semak, apa tidak memungkinkan tersangkut ya?
"Lagi cari apa, Nduk?"
Aku sedikit berjengit ketika mendengar pertanyaan seseorang. Menghela napas lega ketika melihat seorang kakek tengah duduk di pinggir sungai dengan peralatan memancing. Aku pikir di sini tidak ada orang. Mungkin karena aku terlalu fokus mencari pakaianku hingga melupakan keadaan sekitar.
"Ini, Mbah, lagi nyari baju hanyut. Mbah liat nggak?" tanyaku penasaran.
Kakek itu terlihat menerawang sebentar sebelum menjentikkan jari. Seolah-olah menemukan sesuatu yang luar biasa.
"Oh, baju warna merah itu ya? Coba cari ke pantai, Nduk. Tadi kayanya diambil sama abdi dalem di sekitar muara," jelasnya.
Aku mengerutkan kening tak mengerti pada awalnya. Lalu setelah aku pikir-pikir, aku mengerti apa maksud dari kakek ini. Pantas saja aku sedari tadi tak menemukan pakainku.
"Oh begitu. Terimakasih, Mbah."
Aku berbalik kembali ke arah hulu sungai. Namun baru beberapa langkah, aku berbalik badan ingin menanyakan satu hal lagi. Tapi sayangnya, kakek itu sudah tidak berada di tempatnya. Hening. Yang ada hanya suara serangga-serangga yang mulai menampakkan eksistensinya.
Hah. Ini terjadi lagi. Aku menggeleng pelan lalu kembali menuju hulu. Mengambil kembali pakaian yang tadi kusembunyikan di balik semak-semak. Jika dilihat sekilas memang kakek itu terlihat seperti manusia biasa. Namun jika diperhatikan dari penuturannya, kenapa ia bisa tahu jika pakaianku diambil oleh seorang abdi dalem?
Inilah yang menjadi pertanyaanku sedari tadi. Aku kembali ke rumah dengan sekeranjang pakaian basah di atas kepala. Sudah sedikit berkurang beban beratnya. Mungkin karena tadi sempat aku tinggalkan di semak-semak selama beberapa saat. Mengurangi air yang terserap.
"Nduk, Nduk, kok sampek malem toh?" Ibu menghampiriku dengan panik ketika aku baru tiba di halaman rumah.
"Iya, Buk. Tadi ada baju yang hanyut, jadi nyari dulu sampek ke muara." Aku meletakkan keranjang pakaianku itu. Meregangkan tubuh setelah hampir satu jam memikulnya di atas kepala.
"Lho, terus piye? Wes ketemu?"
Aku menggeleng. "Aku mau nyari ke pantai dulu ini, Buk. Kayaknya ada di sana deh," jelasku.
"Agisa?"
"Eh, Dimas. Udah bangun?" Aku menoleh ketika Dimas keluar dari dalam kamar dan menghampiriku. Wajahnya sudah mulai merona, tidak seperti terakhir kali aku tinggalkan pagi ini. Aku tersenyum lembut. "Kayaknya udah mendingan ya."
"Kamu mau kemana lagi? Ini udah malem lho, Gis." Dimas berjalan menghampiriku. Ekspresinya sungguh khawatir.
Mendengar obrolanku sudah mulai semakin jauh, Ibuku pergi kembali ke kamarnya. Aku juga mengajak Dimas untuk duduk terlebih dahulu agar lebih tenang.
"Aku mau nyari baju, Dim. Sebentar doang kok."
Dimas menatapku sangsi. "Malem-malem gini? Nggak, Gis. Perempuan nggak baik pergi keluar malam-malam sendirian. Bahaya."
"Tenang, Dimas. Aku udah biasa kok keluar sendirian. Lagipula, baju yang aku cari ini penting. Aku nggak bisa tenang kalau baju ini sampek nggak kembali." Aku meraih tangan Dimas, menggenggamnya erat.
"Kalau gitu, biarin aku ikut."
"Heh, apaan. Enggak. Kamu gak boleh ikut," balasku cepat. Enak saja dia mau ikut dalam kondisi seperti ini. Kalau terjadi apa-apa bagaimana. Yang ada malah aku jadi kesusahan.
"Seengganya aku bisa tenang kalau nemenin kamu di sana."
"Tapi aku malah ngerasa terbebani kalau kamu ikut nemenin aku, Dim," tuturku. Dimas terdiam mendengar perkataanku barusan. Ugh, apa dia tersinggung? "Dimas, bukannya aku nggak mau kamu temenin. Tapi posisinya sekarang itu yang kita hadapin itu bukan manusia biasa. Salah sedikit saja, nyawa kita taruhannya. Kamu harus mengerti itu."
Dimas masih diam. Dia menatapku lama dengan ekspresi yang tak dapat aku pahami. Bahkan isi pikirannya juga terlalu banyak hingga membuat kepalaku pening.
Memang benar, jika apa yang akan aku datangi bukanlah tempat sembarangan. Ah, bukan, lebih tepatnya bukan makhluk biasa. Dia adalah abdi dalem dari penghuni laut selatan. Suatu kehidupan yang eksistensinya masih terngiang dengan jelas walau secara diam-diam. Aku sama sekali tidak ingin mencari masalah dengan keberadaan mereka. Sama sekali.
"Bagaimana kalau begini saja. Kamu tunggu aku di rumah selama satu jam. Kalau lebih dari itu, aku akan membiarkan kamu menyusulku ke pantai." Aku tersenyum, mencoba meyakinkan laki-laki yang satu ini.
"Baiklah. Jika dalam satu jam kamu tidak kembali, maka aku akan pergi menjemputmu langsung."
[Watu Ulo]
First up 28 April 2016
First Revision 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Watu Ulo - Legend of Stone Beach.
Ficción histórica[Revisi] Ketika rasa menjadi obsesi. Membawa pada penghalalan segala cara. Perlahan menumbuhkan kebencian yang mengakar. ◎◎◎ Cerita ini hanya fiktif belaka. Di dasari oleh legenda yang berkembang sekitar masyarakat, dan diangkat dengan bumbu-bumbu...