List - 1

321K 18.1K 1K
                                    

Aku tahu sepasang mata belo milik Berta terus mengarah padaku, meskipun sejak tadi kehadirannya kuabaikan. Suasana hatiku saat ini sedang tidak mendukung untuk berbasa-basi. Bahkan sekadar untuk menyunggingkan senyum kecil pada sahabat baikku itu pun seperti hal yang sangat berat. Untungnya Berta mengerti dan memilih diam di sudut lain beranda apartemenku, sambil sesekali melirik, seolah memastikan aku tidak akan melompat dari Lantai 43 ini.

Hell no. Aku terlalu mencintai diriku sendiri. Bunuh diri hanya karena patah hati tidak ada dalam rencana hidupku, baik di masa lampau, masa kini, maupun di kehidupan selanjutnya.

Aku bersyukur memiliki sahabat seperti Berta. Meskipun kadang menyebalkan, tapi dia selalu ada untukku, dan tahu harus bersikap seperti apa saat menghadapiku.

“Lo sebenernya patah hati karena diselingkuhi, apa karena cerai pas masih perawan sih, Nad?”

Kutarik lagi semua pujian untuknya. Dia boleh saja memiliki dua gelar di belakang namanya, tapi mulutnya kadang persis preman yang tidak pernah menyentuh bangku pendidikan.

“Kalau gue jadi elo sih, kayaknya lebih karena alasan kedua. Gila aja, hampir setahun nikah nggak diapa-apain, eh dia malah selingkuh, terus cere.” Dia berdecak. “Lo nggak pernah make up sex gitu sama dia selama nikah?”

Aku menggeleng.

“Terus pas malam pertama kalian ngapain? Main congklak?”

“Ngitungin isi amplop tamu!” jawabku, ketus.

Bukannya merasa bersalah, Berta malah terkekeh. “Harusnya sesekali lo kasih tuh Viagra ke minumannya, biar lo diserang.”

Aku memilih menghabiskan gelas berisi sari apel yang kupegang, mengabaikan ledekannya.

Berta mematikan rokok di tangannya, sebelum mendekat. Dia tahu aku tidak suka asap rokok. Baunya yang menempel di pakaian dan rambut benar-benar bisa membuatku kesal.

“Lo ngerasa nggak sih hidup lo tuh datar aja?”

Aku meliriknya sekilas, masih tidak berkata apa-apa.

“Coba kasih tahu gue, satu aja hal gila yang pernah lo lakuin?”

“Nikah di usia dua puluh tiga tahun, terus jadi janda umur dua puluh empat dalam keadaan perawan, masih kurang gila buat lo?”

Dia kembali tertawa, kali ini lebih keras, membuatku hampir melemparkan gelas kosong ke wajahnya.

“Oke, selain itu,” Berta menyeringai, terlihat jelas berusaha menahan tawanya.

Sambil cemberut, aku memikirkan pertanyaannya.

Dia tidak salah, tentu saja. Kami bersahabat sejak duduk di bangku SD. Dia tahu semua tentangku, sebagaimana aku mengetahui segala celah buruk dalam dirinya.

“Lo selalu jadi good girl.”

“Emang itu salah?” tanyaku, bingung.

“Nggak. Tapi, kayak yang gue bilang tadi, hidup lo jadi datar kayak triplek. Kurang greget.”

Aku tidak membantah.

“Lo nggak pernah keluar dari zona nyaman, karena takut sama apa yang bakal lo hadapi. Lo ngejalanin hidup sesuai sama apa yang udah lo kenal, termasuk pas mutusin nerima lamaran Remi.”

Mendengar nama lelaki itu disebut, membuatku menekuk muka.

“Lo pacaran sama dia juga nggak, cuma karena kalian kenal lama, lo langsung iya-iya aja pas dia ngajak nikah.”

“Yah, kan...”

“Lo pikir udah kenal dia, right? Lo yakin banget dia nggak akan ninggalin lo kayak mantan lo sebelumnya, cuma karena yang dia tawarin lebih dari sekadar pacaran. Lo cari aman lewat pernikahan, karena lo pikir dengan nikah lo nggak perlu takut lagi patah hati.”

At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang