Aku menoleh ke arah pintu saat mendengar suara lonceng yang terpasang di atasnya. Sosok lelaki itu melangkah masuk, terlihat sedikit lebih berantakan daripada saat kedatangan pertama tempo hari. Wajahnya terlihat lelah. Namun, dia masih bisa menyunggingkan senyum ramah yang, yeah, cukup menarik.
"Sore," sapaku.
"Sore juga. Mau ambil pesanan."
"Boleh minta kwitansinya?"
Dia merogoh saku belakang celana, mengaluarkan dompet cokelat, lalu mengambil selembar kwitansi yang diselipkan di salah satu saku dompet. Aku mengambil lembaran yang disodorkannya itu, dan memintanya menunggu sebentar, sementara aku mengambil pesanannya.
Untuk pesanan khusus seperti ini, bukan yang dalam jumlah banyak, aku biasa mengerjakan sendiri. Rasanya sangat menyenangkan, karena aku seperti terhubung langsung dengan siapa pun pemilik keramik itu nanti. Sebagian jiwaku ada di sana, di setiap benda yang sudah kubuat dan kuukir dengan sepenuh hati. Dan raut bahagia para pemesan saat melihat hasil karyaku adalah bentuk kepuasan yang tidak akan pernah ada tandingannya.
Namun, mengingat taruhan kecil yang kubuat dengan lelaki ini tempo hari, aku sekarang jadi sedikit gugup. Menurutku, dan beberapa anak buah yang kupintai pendapat, ukiranku sudah cukup mirip dengan foto yang diberikan Rekano. Berta juga berpendapat serupa, malah ikut memesan satu untuk neneknya. Tetap saja, aku gugup.
Berusaha tetap tenang, aku membawa peti kayu dengan bantalan beledu, berisi hasil karyaku, dan menyerahkannya pada Rekano.
Degup jantungku bertambah kencang, seiring dengan gerak tangan Rekano membuka tutup kayu di tangannya. Begitu terbuka, dia hanya diam, menatap lurus ke ukiran itu tanpa kata.
Aku memberinya waktu untuk mengamati benda itu. Namun, saat kurasa sudah terlalu lama berjeda, aku memberanikan diri bersuara.
"Gimana?"
Rekano mengangkat pandangan matanya, mengarah padaku. "Ini... kamu sendiri yang bikin?"
Aku mengangguk.
Kemudian, senyumnya makin merekah, semringah. "Perfect," ucapnya.
"Really? You like it?"
"No. I love it." Dia kembali menatap keramik itu, sementara aku diam-diam mengembuskan napas lega. "Sumpah, ini cantik banget. Kayak lukisan yang diukir."
Aku menahan tawa mendengar ucapan terakhirnya. Secara simpel, memang begitu. Itu melukis dengan cara mengukir, lalu diberi warna. Dia tidak sepenuhnya salah.
"Oke, aku jadi harus bayar dua kali lipat ya?" Dia menutup peti kayu itu dengan hati-hati dan kembali mengeluarkan dompetnya.
"Eh, nggak usah," tahanku, buru-buru. "Tetep harga biasa. Kemarin cuma iseng, kan?"
Dia menaikkan sebelah alisnya. "Nggak juga sih. Kalau hasilnya nggak muasin, aku beneran nggak mau bayar."
Aku tersenyum simpul. "Yang penting sekarang hasilnya kan muasin, jadi kamu cukup bayar harga biasa aja."
"Beneran?"
Aku mengangguk mantap.
Namun, lelaki itu terlihat ragu. "Ya udah, gini aja. Buat ucapan makasih, aku mau traktir kamu. Boleh?"
Dahiku sontak berkerut.
Kalau menurut Berta, itu barusan adalah jenis kalimat modus. Hanya bentuk kelihaian laki-laki untuk mengajak jalan. Bukannya mau kepedean atau apa. Aku sudah lama sekali tidak berurusan dengan hal-hal semacam itu.
"Eh, sori. Kalau nggak bisa, nggak apa-apa," ucapnya, sementara aku masih diam. "Kita juga belum kenalan layak, ya. Sori banget. Biasanya aku lebih sopan kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)
General FictionTentang Nada, yang coba kembali percaya cinta. Tentang Okan, yang coba menemukan pendamping hidup. Tentang takdir mereka yang bersinggungan. Tentang masa lalu yang seolah tidak mau melepaskan. *** Do not allowed to copy paste my story for any reason!