Gue udah sering nganter Nada pulang, tapi nggak pernah sampai masuk. Selalu drop off di depan pintu lobi gedung apartemennya. Ini pertama kali gue beneran masuk. Setelah laporan dengan resepsionis, gue dipersilakan menaiki lift. Entah kenapa, gue deg-degan. Padahal ini cuma undangan makan siang. Nggak cuma berdua pula.
Yeah, gue ragu Nada bakal ngundang kalau kami cuma berdua. Gue juga takut sih. Takut khilaf. Berduaan di galeri dia aja bisa hampir khilaf, apalagi di apartemen.
Begitu lift berhenti, gue melangkah keluar sembari memperhatikan nomor-nomor yang tertera. Langkah gue terhenti di depan pintu bertuliskan angka 4306. Begitu yakin itu nomor yang tadi disebut Nada, gue menekan belnya.
Pintu itu terbuka tak lama kemudian. Sialnya, bukan Nada yang menyambut gue, tapi Berta. Rambut merahnya beneran nggak bakal bikin lupa siapa pun yang melihat. Ditambah senyum dan kerlingan mata genit yang kayaknya juga udah jadi ciri khas dia.
"Hai," sapanya, sengaja banget bersandar di ujung pintu dengan postur menggoda. "Cari gue, apa Nada?"
Gue harus banyak ngelus dada kayaknya tiap kali berhadapan sama sahabat Nada satu ini. "Nada," jawab gue.
Berta tertawa, lalu melebarkan daun pintu. "Dia masih di dapur, nyoba bikin sambel buat lo."
Gue melangkah masuk. Hal pertama yang gue lihat adalah sebuah pigura besar, tapi nggak ada foto di dalamnya, yang tergantung di dinding ruang tamu. Gue nggak paham itu maksudnya apa. Seniman emang nggak gampang dimengerti seleranya.
"Itu dulu isinya foto nikah Nada. Terus mau dibuang sama piguranya sekalian, gue larang. Kan sayang. Mahal loh itu pigura. Jadi fotonya doang yang dibakar." Berta ternyata nangkep apa yang gue lihat dan ngasih penjelasan yang cukup masuk akal. "Dapur sebelah sana," lanjutnya, menunjuk ke sebelah kiri, sementara dia sendiri menghampiri laki-laki yang tengah berdiri di dekat jendela besar ruang tamu, tampak sibuk dengan ponselnya.. Kayaknya itu pacar Berta, yang tadi pagi sempat disinggung Nada.
Di bayangan gue, pas Nada bilang 'pacar Berta', yang dia maksud adalah cowok setipe rocker, bukan yang dandanannya ala eksmud pas makan siang santai. Penampilan gue kebanting banget gara-gara tuh orang.
Membiarkan kedua orang itu, gue memutuskan ke dapur sesuai arah yang tadi dibilang Berta. Penglihatan sekilas gue, apartemen Nada jauh lebih luas dari apartemen gue. Tipe apartemen yang biasanya ditempati keluarga kecil, bukan kaum single. Ruang tamu dan ruang tengahnya cuma dipisah lemari pajangan, bukan dinding. Satu benda yang ada di ruang tengah membuat mata gue sontak hampir melompat keluar.
Sebuah tiang pole dance.
Ini Nada seriusan pasang tiang beginian di tempat tinggalnya? Atau kerjaan Berta?
"Jangan dilihat lama-lama, ntar pengin."
Gue menoleh, melihat Berta sudah lebih dulu berjalan ke dapur dengan wajah usil. "Punya lo kan itu?" gue memastikan, seraya mengikuti langkahnya.
"Iya," jawabnya. "Bisa ribut kalau pasang itu di kamar kos. Tapi..." Berta merendahkan suaranya. "Gue pernah ngajarin Nada gerakan dasar. Dia punya bakat lho."
Kampret! Gue jadi ngebayangin!
Berta tertawa puas banget melihat wajah bloon gue. Tuh cewek kelihatan banget usilnya dari pertama ketemu di bar striptease tempo hari.
Berusaha mengenyahkan bayangan Nada dan tiang sialan itu, gue meneruskan langkah ke dapur. Di kitchen island udah ada beberapa masakan yang jadi, tapi Nada masih kelihatan sibuk di depan ulekan, tampak belum menyadari kehadiran gue.
"Masih belum bisa?" tanya Berta pada Nada. "Lo bikin sambel apaan sih?"
"Sambel goreng. Yang tadi rasanya ancur banget. Okan nggak bisa makan kalau nggak ada sambel," Nada kedengeran putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)
Fiksi UmumTentang Nada, yang coba kembali percaya cinta. Tentang Okan, yang coba menemukan pendamping hidup. Tentang takdir mereka yang bersinggungan. Tentang masa lalu yang seolah tidak mau melepaskan. *** Do not allowed to copy paste my story for any reason!