Aku melirik jam dinding, yang tergantung tepat di atas pintu masuk toko. Jarumnya menunjukan pukul 14.36 WIB. Tadi Berta mengabari akan mampir ke sini. Salah satu anak didiknya terlambat dijemput dan penjemput mengabari kalau dia baru bisa datang sekitar pukul tiga lewat. Karena malas menunggu di sanggar tari tempatnya mengajar, Berta memilih mengajak anak didiknya itu ke tokoku. Tapi sampai detik ini batang hidungnya masih belum terlihat.
Baru akan meneleponnya, pintu tokoku lebih dulu terbuka. Berta melangkah masuk, menggandeng seorang anak perempuan bersamanya. Es krim di tangan anak itu kuyakini sebagai alasan mereka terlambat muncul.
"Halo," sapaku pada anak perempuan itu.
Dia melepaskan pegangan Berta untuk balas melambai, sementara mulutnya sibuk melahap es krim.
"Kenalan dulu dong," ucap Berta, mengajak anak itu mengitari meja etalase, lalu berdiri di depanku.
"Adel," ucapnya, menyebutkan nama setelah mencium tanganku.
"Nada," balasku, sambil tersenyum kecil. "Duduk sini," aku menepuk salah satu dari tiga bangku tinggi yang ada di balik etalase.
Berta membantu Adel duduk, kemudian ikut duduk di satu-satunya bangku yang tersisa.
"Males banget kerja ntar malem," gumam Berta. "Badan gue kayak mau rontok. Pegel semua."
"Bukannya shift malem lo cuma Jumat sama Sabtu?"
"Ada yang nggak masuk, gue diminta gantiin ngisi show solo. Lumayan sih tambahannya kalau di luar jadwal gini. Makanya gue ambil."
Aku mengangguk-angguk paham, memilih mengganti topik. Aku tahu meskipun bersikap biasa saja, Berta masih tidak terlalu suka banyak membahas tentang pekerjaan malamnya.
Kami ganti membahas tentang pentas kecil yang akan diadakan kelas kids di sanggar Berta. Aku suka sekali melihat Berta menari. Dulu dia sempat memiliki mimpi untuk memembus Broadway. Sayangnya, jalan untuk ke sana masih belum ada. Sempat ada masa di mana Berta begitu gigih mengejar cita-citanya. Mengikuti audisi di mana-mana, dari pentas kecil hingga menengah. Sampai di satu titik, dia menyerah.
Aku belum melihat lagi bara semangatnya yang sudah redup itu. Aku sendiri masih yakin Berta bisa menggapai mimpinya, kalau saja semangat lamanya kembali.
"Mau bawain cerita apa?" tanyaku penuh minat.
"Cerita Rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih," jawab Adel. "Adel jadi Bawang Merah."
"Wah... keren dong," pujiku. "Nanti Kak Nada nonton deh," aku berpaling pada Berta. "Gue mau tiketnya, satu."
"Gampang," balas Berta.
Adel lalu bercerita dengan semangat tentang rencana pentas itu. Aku pun mendengarnya dengan penuh minat. Aku tidak yakin berapa usia anak ini. Sekitar lima atau enam tahun, mungkin. Yang jelas, dia terlihat cerdas. Bisa bercerita dengan runut, ekspresi serius, dan dahi yang sesekali berkerut, namun tetap terlihat lucu khas anak kecil.
"Gue ke toilet bentar. Kebelet." Berta melompat turun dari bangkunya. "Adel, kalau nanti udah dijemput, jangan pulang dulu, ya. Tunggu Bu Berta. Oke?"
Adel mengangguk patuh, lalu melanjutkan ceritanya padalu, sementara Berta berlari kecil ke kamar mandi. Obrolan santai itu terpotong, ketika pintu tokoku kembali terbuka.
Sosok Okan melangkah masuk, terlihat ragu sejenak.
"Om Abang, sini!" Adel tiba-tiba bersuara, melambaikan tangannya pada Okan.
Melihat gadis kecil itu, keraguan Okan perlahan lenyap. Dia mendekat, melempar senyum canggung padaku.
"Aku pikir salah alamat," ucapnya, membuka percakapan. "Gurunya Adel bilang jemput di sini aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)
Художественная прозаTentang Nada, yang coba kembali percaya cinta. Tentang Okan, yang coba menemukan pendamping hidup. Tentang takdir mereka yang bersinggungan. Tentang masa lalu yang seolah tidak mau melepaskan. *** Do not allowed to copy paste my story for any reason!