Kutu Loncat : Nad, lagi di mana?
Aku mendelik saat membaca chat itu. Sejak resmi bercerai beberapa minggu lalu, dia tidak pernah lagi menghubungiku, sekadar bertanya bagaimana keadaanku, atau basa-basi lain. Dia langsung menghilang ditelan bumi. Entah untuk apa dia menghubungiku sekarang. Pasti bukan hal menyenangkan.
Me : di apartemen. Kenapa?
Kutu Loncat : nggak, mau mastiin aja gak ke mana-mana. Aku mau ambil sisa barang.
Pandanganku refleks mengarah ke sekitar. Kesalahan fatal membaca chat itu saat aku berada di kamar. Ruangan yang sama dengan yang kutempati berdua dengannya. Tentu saja sisa barangnya masih berceceran, bukti nyata kalau dia benar-benar pernah mengisi ruangan itu denganku. Dan sekarang tidak lagi.
Aku menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Tidak, aku tidak akan menangis lagi. Sudah cukup segala rengekan cengeng yang kukeluarkan untuknya.
Baru akan membalas, ponselku lebih dulu berbunyi. Telepon dari orang yang sama. Aku berdecak. Salah satu sifat buruknya yang kadang menyebalkan adalah tidak sabaran. Lama sedikit membalas chat, dia akan berinisiatif menelepon.
“Ya?” jawabku, sedikit ketus.
“Lama banget balesnya.”
“Ya, aku bukannya kamu yang hape nempel di tangan dua puluh empat jam, bales chat cuma butuh sedetik....”
“Denada, aku nggak pengin berantem,” potongnya. “Kamu ada rencana keluar nggak hari ini?”
Aku mengatupkan bibir, menahan diri untuk tidak menyumpah serapah sekarang. “Ada,” jawabku, singkat. Sedikit berbohong, sebenarnya. Tapi aku tidak sudi mengaku tidak ada kegiatan, membiarkannya merasa bebas untuk datang dan pergi kapan pun yang dia mau. Dia bukan siapa-siapa lagi untukku sekarang.
“Pergi jam berapa?”
“Siang. Nggak tahu balik kapan.”
“Ke mana?”
“Bukan urusan kamu kayaknya,” decakku, makin sebal. “Kalau mau ambil barang, dateng sekarang.”
Dia mengembuskan napas kasar. “Oke.”
Tut.
Telepon terputus, tanpa salam. Dengan kesal, aku menjatuhkan ponsel di kasur dan beranjak berdiri. Lelaki itu harus diberi pelajaran.
Aku meninggalkan kamar menuju dapur, menarik keluar beberapa kantung plastik untuk sampah berwarna hitam, dan membawanya kembali ke kamar tidur. Hal pertama yang harus kubersihkan dari jejak keberadaannya adalah lemari pakaian. Tinggal sebagian kecil, tapi tetap mengganggu mata. Aku menyambar kasar semua sisa pakaiannya di lemari dan menjejalkannya ke plastik sampah. Hal serupa juga kulakukan pada beberapa sepatunya yang masih tertinggal di rak, juga buku-buku dan benda kecil lain, termasuk semua hadiah yang pernah diberinya padaku.
Begitu plastik-plastik sampah berisi barang-barang lelaki itu sudah kuikat rapi dan kuletakkan di ruang tamu, mataku menangkap sebuah pigura seukuran poster di dinding depan.
Foto pernikahan kami, yang keberadaannya coba kuabaikan belakangan ini. Benda itu juga harus menghilang, pergi dari hidupku, lenyap bersama dirinya dan semua kenangan yang pernah ada. Aku menaiki sofa untuk menurunkannya, meletakkan pigura itu bersama plastik-plastik sampah.
Tinggal satu benda yang masih berat untuk kulepas. Cincin di jari manis kananku. Bukan karena deretan berlian di sekelilingnya, tapi karena makna dari cincin itu sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)
Narrativa generaleTentang Nada, yang coba kembali percaya cinta. Tentang Okan, yang coba menemukan pendamping hidup. Tentang takdir mereka yang bersinggungan. Tentang masa lalu yang seolah tidak mau melepaskan. *** Do not allowed to copy paste my story for any reason!