Rominio Azhar: Remi cuma benjol. Temen gila lo itu harus bersyukur dia nggak papa.
Mataku menyipit membaca chat yang baru masuk itu. Seketika menyesal karena membacanya. Aku tidak pernah menganggap Romi menyebalkan sebelum ini. Malah menurutku dia tipikal kakak yang sangat menyenangkan. Terutama karena dia lebih sering di pihakku saat dulu aku bermasalah dengan Remi. Termasuk saat insiden hotel itu.
Satu hal yang kulupakan, blood is thicker than water. Tentu saja pada akhirnya dia akan berada di pihak Remi. Aku sekarang hanya mantan saudara ipar baginya. Tidak ada arti lain. Sedangkan Remi adalah saudara kembarnya, orang yang berbagi segalanya dengan dia, sejak mereka di kandungan.
Tidak tertarik membalas chat itu, aku memilih melanjutkan pekerjaan, mengecek jumlah pesanan yang sudah selesai, dan yang masih dalam proses. Tidak ada waktu meladeni orang-orang dari masa laluku.
Kegiatanku terhenti saat mendengar ketukan di kaca pintu toko. Aku mengernyit, mengingat gantungan di pintu yang menghadap keluar masih bertuliskan "CLOSED", yakin itu bukan pegawaiku, karena ini masih terlalu pagi, dan mereka juga biasa masuk lewat pintu belakang.
Penasaran, aku beranjak dari tempat dudukku untuk melihat siapa yang sudah mengetuk sepagi ini di hari libur.
Ada desiran halus yang muncul di dadaku saat melihat sosok di balik kaca itu. "Okan?"
Sebuah seringai lebar menyambut raut bingungku. Aku menyingkir, memberinya ruang untuk melangkah masuk. Dia mengenakan kaus abu-abu polos lengan pendek, serta celana dan sepatu olahraga.
"Abis lari pagi di sekitar sini, pas iseng lewat lihat rolling door-nya udah diangkat. Jadi mampir deh," jelasnya, sebelum aku sempat bertanya.
Aku tahu itu bukan sekadar alasan jika dilihat dari jejak basah keringat yang ada di kausnya.
Okan mungkin bukan laki-laki paling tampan yang pernah kutemui. Tapi dia memiliki bentuk fisik yang sangat menarik. Bukan hanya postur wajah. Hari ini aku baru menyadari kalau bentuk badannya pun menambah nilai plus pada penampilan luarnya. Kaus yang menempel di tubuhnya karena keringat, mencetak jelas postur atletis di baliknya.
Aku buru-buru memalingkan wajah saat menyadari pandanganku nyaris tidak berhenti menatap dada bidangnya, merasakan pipiku menghangat. Bisa-bisanya aku sempat berpikiran aneh-aneh sepagi ini.
"Nad?"
Teguran itu membuatnya mengerjap, kembali menatap Okan. "Ya?"
"Kamu nggak papa?"
"Hah? Kenapa emangnya?"
"Kayak bengong gitu tadi. Mikirin apa?"
Aku menggeleng cepat. "Nggak, bukan apa-apa," ucapku, berniat kembali ke balik etalase, sementara Okan duduk di salah satu bangku di depanku.
"Aku tadi sekalian beli jajanan sambil lari. Kamu udah sarapan?"
Aku kembali menggeleng. "Baru ngeteh aja."
Seperti anak kecil yang tengah memamerkan hasil karyanya, Okan meletakkan beberapa bungkusan kantong plastik di atas etalaseku, sambil menyebutkan apa saja yang dibelinya. Aku melongo melihat sebanyak apa makanan yang ada di sana.
"Kamu lari pagi buat olahraga, apa buat borong makanan sih?" tanyaku, takjub.
"Dua-duanya," cengirnya. "Abis lari kan pasti capek. Kalau pas capek tuh paling enak ya makan."
Aku geleng-geleng kepala. Saat dia menyebut jajanan, kupikir hanya satu atau dua jenis. Tapi ternyata lebih dari itu.
Jadi aku mengajaknya ke pantry, yang biasa aku dan pegawaiku gunakan saat istirahat. Okan menarik salah satu dari empat kursi yang mengitari meja makan, sementara aku mengambil wadah untuk makanan-makanannya. Berbagai macam gorengan, batagor, nasi uduk, es buah, sampai cilok dan rujak ada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)
General FictionTentang Nada, yang coba kembali percaya cinta. Tentang Okan, yang coba menemukan pendamping hidup. Tentang takdir mereka yang bersinggungan. Tentang masa lalu yang seolah tidak mau melepaskan. *** Do not allowed to copy paste my story for any reason!