Gue menarik cincin kaleng bir di tangan hingga terbuka, lalu meneguk isinya dengan mata menerawang lurus ke depan. Nggak ada yang beneran masuk ke fokus pandangan gue. Kalau ada yang lihat, gue sekarang pasti kelihatan kayak bocah labil yang lagi galau.
Yeah, nggak sepenuhnya meleset.
Gue nggak patah hati. Hell no. Cuma kecewa, dikit. Dua tahun jomlo, nggak kehitung berapa banyak cewek yang gagal gue gebet. Dan Nada, shit, menambah panjang daftar itu, saat gue sedikit ngarep bisa coba PDKT sama dia.
Roman berengsek. Dia bilang owner-nya rambut panjang, hitam, blablabla. Apaan! Jelas-jelas Nada rambutnya pendek gitu. Seharusnya status dia yang dibilang Roman aja yang salah. Single. Biar bisa gue gebet.
Shit again.
Gue meneguk lagi bir di tangan hingga habis. Baru akan membuka kaleng ketiga, pintu atap gedung tempat gue lagi nangkring sore ini bergeser terbuka. Tuh pintu emang nggak gue tutup rapat, karena nggak bisa dibuka dari luar sini. Jadi gue selipin kaleng bir kosong di bawahnya, biar ngasih celah kecil.
Si Berengsek Bedebah yang ngaku-ngaku sebagai sahabat gue itu muncul dengan dahi berkerut. Gue membuang muka. Ngambek. Biar aja. Gue beneran kesel sama dia.
"Lo lagi dapet ya?"
"Iya. Dapet mood buat bunuh orang."
"Buset... bini gue lagi PMS aja nggak gini-gini amat." Dia ikut duduk di samping gue. Saat tangannya akan mengambil salah satu dari empat Guinness six pack berharga gue, gue langsung menepisnya.
"Beli sendiri!"
Roman memberengut, mengusap punggung tangannya yang gue pukul. "Kenapa sih lo? Salah obat?" tanyanya.
Gue memilih meneguk bir ketiga yang baru gue buka, mengabaikan pertanyaannya.
"Kan, gue di rumah udah ketemu monster tukang ngambek tiap hari, ya. Lo pake ngambek-ngambekan juga, gue lempar dari lantai tiga puluh ini," ancamnya.
Gue kembali meneguk hingga setengah kaleng, lalu meliriknya sekilas. "Lo bilang si Nada owner toko keramik itu rambutnya panjang kan?"
"Iya, terus?"
"Gue naksir sama pegawai sana, rambutnya pendek, warna cokelat. Ternyata itu Nada. Ngapain lo pake bohongin gue?"
Roman melongo sesaat. Kemudian, dia tertawa keras, menoyor kepala gue, dan memukul bahu gue dengan keras.
"Apaan sih?!" dumel gue, mendorongnya menjauh.
"Nada yang gue temuin dulu emang rambutnya panjang, warna hitam. Kalau sekarang ternyata ganti model rambut, ya mana gue tahu. Dia nggak laporan sama gue."
Gue mendengus.
"Hormon lo beneran udah di ubun-ubun, ya?" ledeknya dengan nada penuh hinaan.
Gue pura-pura nggak ngerti hormon apaan yang dia maksud.
"Udahlah, jajan sekali-dua kali sama aja kok rasanya. Asal lo playing safe, aman-aman aja."
"Ogah." Gue menghabiskan kaleng ketiga. Saat akan membuka sekaleng lagi, gantian Roman yang menepis tangan gue.
"Lo nyetir, goblok."
"Bir ginian mana bikin mabuk sih? Puyeng dikit doang paling. Sama kembung." Gue menyerocos, namun tidak melawan saat Roman menjauhkan kaleng-kaleng berharga itu dari jangkauan gue.
"Serius deh. Lo mending ke bar, kenalan sama satu cewek, ONS, kelar. Uring-uringan lo bakal hilang seketika." Roman kembali ke topik sebelumnya.
Gue menggeleng. Diri gue terlalu berharga buat dipake main asal-asalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)
Художественная прозаTentang Nada, yang coba kembali percaya cinta. Tentang Okan, yang coba menemukan pendamping hidup. Tentang takdir mereka yang bersinggungan. Tentang masa lalu yang seolah tidak mau melepaskan. *** Do not allowed to copy paste my story for any reason!