List - 14

91.2K 14.6K 873
                                    

Aku tidak tahu mengapa harus kabur saat Okan menoleh. Rasanya seperti dipergoki sedang melakukan sesuatu yang memalukan. Gerak refleksku langsung menjauh, karena malu. Malu jika dia mengetahui kalau aku memperhatikan sepanjang percakapan ajaib yang berlangsung antara dia, adik, dan keponakannya. Aku bahkan tidak sengaja ikut tertawa pelan saat Adel menyetujui usul ibunya supaya Okan mengajaknya ke Disneyland. Dan raut pasrah Okan saat menerima hukumannya karena sudah datang terlambat terlihat sangat lucu.

Yah, intinya aku panik, jadi melarikan diri. Rasanya memalukan jika dia tahu aku nyaris tidak berpaling dari pemandangan interaksi keluarga kecilnya tadi. Membuatku membayangkan hal-hal yang tadinya sudah kulupakan seiring dengan kandasnya pernikahanku.

Aku memutuskan ke ruangan Berta untuk pamit pulang. Dia sendiri tidak bisa lama menemaniku sesudah pentas karena ada pertemuan antar pengajar untuk membahas pentas tadi. Berta cerita kalau dia penanggung jawab kali ini.

Sahabatku itu masih belum ada di ruang pengajar. Mejanya kosong. Akhirnya aku mencoba meneleponnya. Cukup lama terdengar nada tunggu sampai panggilanku dijawab.

"Gue masih rapat nih. Lo mau ambil mobil ya?" Cerocosan Berta itu terdengar, tanpa sapaan halo.

"Nggak," ujarku. "Gue naik taksi aja. Cuma mau pamit. Ntar lo panik kalau gue langsung ngilang."

Berta berdecak. "Palingan juga om-nya Adel yang nyulik lo," ledeknya. "Yakin nggak bawa mobil?"

"Nggak, lagi males nyetir," balasku. "Ya udah, ngabarin itu aja. Gue balik ya. See you..."

Begitu Berta sudah membalas salam penutup, aku memutuskan sambungan telepon. Langkahku menelusuri koridor menuju pintu depan terhenti saat melihat sosok Okan berdiri di sana, tampak celingak-celinguk sambil menggaruk kepalanya. Aku ingin berharap dia tidak melihat, tapi mustahil. Terpikir untuk kabur lagi, namun dia lebih dulu menatapku.

Raut kebingungan lenyap dari wajahnya, membuatku tahu kalau dia mencariku. Untuk apa? Entahlah.

"Hai," sapanya. "Kirain kabur pulang."

Pipiku perlahan menghangat. "Siapa yang kabur? Cuma mau pamit sama Berta."

"Oh..."

Aku kembali melangkah pelan. Dia mengiringi di sebelahku dengan kedua tangan di dalam saku celana. Dari beberapa kali pertemuan kami, aku paling suka melihat dandanan santainya sekarang. Dia mengenakan kaus abu-abu polos lengan panjang, celana khaki selutut, dan sepatu model slip on. Rambutnya tidak serapi biasanya, tapi malah terlihat lebih cocok untuknya. Dia juga belum bercukur, membiarkan jambang tipisnya memenuhi dagu dan rahang.

"Ini kamu mau pulang?" tanyanya, begitu kami sudah berada di depan gerbang.

"Balik ke toko," jawabku.

"Hari Minggu masih buka?"

Aku mengangguk, tersenyum kecil. Tokoku buka setiap hari, dari pukul 9.00 s/d 18.00. Tinggal mengatur jam kerja pegawai. Aku mewajibkan mereka bekerja selama 36 jam per minggu, enam jam per hari selama enam hari kerja, dan membiarkan mereka memilih hari libur sendiri. Kadang jam kerja juga disesuaikan dengan masing-masing pegawai, karena sebagian pegawaiku berstatus mahasiswa. Jadi ada yang masuk langsung delapan jam di satu hari, supaya bisa hanya masuk empat jam hari berikutnya karena ada kelas. Ada juga sebaliknya.

Intinya, selama sistem itu tidak merugikan siapa-siapa, aku tidak akan bersikap keras. Tapi, kalau ada yang masih bertingkah, aku juga tidak ragu memecatnya.

"Ini mau naik taksi apa gimana?" Okan kembali bertanya.

"Ojek online aja kayaknya. Deket juga."

At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang