Aku menatap pantulanku di pintu lift yang masih menutup, tanpa sadar menyentuh bibirku, seolah masih merasakan sentuhan Okan di sana. Dia benar-benar tahu bagaimana caranya mencium, yakin dengan apa yang dilakukannya. Membuatku merasa sangat diinginkan. Rasanya... menyenangkan.
Meski ada rasa tidak ingin berhenti, tapi akhirnya ciuman itu berakhir juga. Napas kami sama-sama tersengal saat perlahan menjauh, seolah baru saja menyelesaikan lari marathon. Aku bahkan tidak peduli dengan bekas tanah liat yang mengotori pipi dan leherku karena tangannya. Butuh waktu agak lama untuk membersihkannya, tapi menurutku itu sepadan.
Aku tahu seharusnya tidak merasa seperti ini, tapi aku tidak bisa menahannya. Okan seperti baru saja menarik keluar sisi diriku yang selama ini diam, tersembunyi.
Itu bukan ciuman pertamaku, tentu saja. Walaupun tidak menyentuhku secara intim, Remi kadang suka memberi kecupan singkat. Terlalu singkat, sampai aku tidak pernah punya kesempatan untuk sekadar menikmati, apalagi membalas. Seolah itu hanya formalitas baginya, jangan sampai aku benar-benar tidak pernah disentuh sedikit pun.
Apa yang terjadi dengan Okan di galeriku tadi sangat berbeda dengan semua ciuman yang pernah kulakukan, atau kuterima. Termasuk dengan Remi. Awalnya aku kaget saat dia tiba-tiba meraih tengkukku, membuatku mendongak ke arahnya. Aku punya kesempatan untuk menolak, memalingkan wajah atau mendorongnya menjauh. Tapi, entah apa yang merasukiku, aku memilih diam. Membiarkan dia melakukannya.
Bahkan kecupan pertamanya, yang cenderung singkat, masih lebih bisa kurasakan daripada kecupan-kecupan sekilas Remi. Jantungku masih belum berdegup normal sampai sekarang.
Aku tidak akan menganggapnya sebagai cinta, atau perasaan semacam itu. Tapi, rasa tertarik itu jelas ada, aku tidak akan membantahnya. Lagipula, dia memang menarik. Aku bisa mulai menuruti omongan Berta untuk menikmati apa yang diberikan hidup. Mungkin ini salah satunya.
Bunyi lift yang berhenti menarik pikiranku kembali, membuatku sadar sedang berada di lobi apartemenku. Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah masuk. Tidak butuh waktu lama sampai lift itu berhenti di Lantai yang kutempati.
Langkah kakiku otomatis memelan saat mendekati apartemenku. Seseorang berdiri di sana, bersandar di daun pintu. Aku menggeram pelan saat mengenali sosok itu. Dengan langkah lebar, aku menghampirinya.
“Ngapain lagi kamu ke sini?”
Remi menatapku, tajam. Aku mengernyit saat mencium bau alkohol dari embusan napasnya. Saat itu juga aku menyadari keberadaan botol minuman yang sudah kosong di lantai, dekat kakinya.
Dia tidak menjawab pertanyaanku, seolah itu bukan hal yang butuh jawaban. Malas meladeninya, aku memilih mendorongnya agar menyingkir dari pintu supaya aku bisa masuk.
“Enak ya, Nad?”
Pertanyaan itu menghentikan gerakan tanganku yang sedang memasukkan password untuk membuka pintu. Aku menoleh, melihat cibiran di bibir Remi.
“Aku sekarang ngerti gimana nggak enaknya ngelihat pasangan kita mesra-mesraan sama orang lain.”
Dahiku mengernyit. “Oh, selingkuhan kamu balas selingkuh?” tanyaku, tanpa ekspresi. “Karma is a real bitch, Dude. Eat that.” Aku membuka pintu dan melangkah masuk.
Belum sempat menutupnya kembali, Remi lebih dulu menahan daun pintu dan mendorongnya hingga terbuka lebar. Wajahnya mulai terlihat mengerikan sekarang. Matanya memerah. Aku otomatis bergerak mundur saat dia mendekat dengan langkah mengintimidasi.
“Siapa dia, Nad?” tanyanya.
Aku benar-benar tidak mengerti siapa yang dia tanyakan. Kalau selingkuhannya yang selingkuh, kenapa bertanya padaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)
General FictionTentang Nada, yang coba kembali percaya cinta. Tentang Okan, yang coba menemukan pendamping hidup. Tentang takdir mereka yang bersinggungan. Tentang masa lalu yang seolah tidak mau melepaskan. *** Do not allowed to copy paste my story for any reason!