List - 5

102K 14.7K 411
                                    

Cari kado buat Ibu adalah salah satu hal yang paling bikin gue pusing dalam setahun. Sebenarnya Ibu nggak pernah minta apa-apa, cuma mau anak-anaknya pulang di tanggal kelahirannya itu, makan bareng-bareng, foto keluarga, selesai. Masalahnya, gue sudah terbiasa ngasih Ibu kado tiap kali beliau ulang tahun sejak gue masih SD. Jadi rasanya ada yang kurang kalau gue pulang ke rumah orangtua pas hari itu, tapi nggak bawa apa-apa.

Yang bikin susah, karena gue nggak mau kasih kado yang sama tiap tahun. Kalau gue tanya langsung Ibu lagi pengin apa, jawaban yang gue dapat malah cuma bikin gue dongkol. Terutama sejak umur gue makin mendekati kepala tiga.

“Ibu tuh nggak pengin barang apa-apa dari kamu. Bawa aja calon mantu cewek, cukup kok.”

Yeah... Ibu kayaknya mulai khawatir gue bakal jadi bujang lapuk. Padahal tahun ini gue juga baru 29, umur kinyis-kinyis, kalau kata Sadam, keponakan gue yang baru tujuh tahun. Gue nggak tahu dia nemu istilah itu dari mana.

Dengan ketemunya kado buat Ibu, beban pikiran gue buat tahun ini berkurang satu. Gue harus berterima kasih sama Roman untuk itu. Dia sahabat sekaligus partner kerja gue, yang ngasih tahu tentang toko keramik yang gue datangi beberapa hari lalu. Dia juga pernah cari kado buat mertuanya di sana. Sekarang gue tinggal cari jawaban ngeles terbaik buat hari Minggu nanti, kalau Ibu ceramah kenapa gue masih datang sendirian, sementara Naka, adik gue yang baru lulus SMA saja bisa datang bawa pacar tiap tahun.

“Lagian, lo tiap pacaran diumpetin kayak anak SMP,” ledek Roman, setiap kali gue mulai menggerutu tentang ceramah Ibu.

Gue nggak bisa ngeles masalah itu, karena emang kenyataan. Gue belum pernah ngenalin cewek ke Ibu. Sekalinya Ibu ketemu pacar gue, karena nggak sengaja ketemu di mall. Jadilah akhinya makan siang bareng. Kalau gue yang sengaja ngajak ketemu, nggak pernah. Belum. Gue masih ngerasa belum ada perempuan layak yang pantas dikenalin sebagai calon mantu Ibu.

Kalau kata Roman, gue kelewat picky. Ya, emang. Masa mau buat pasangan hidup cuma asal pilih? Cukup Naka yang bikin Ibu pusing karena bolak-balik ngenalin cewek beda di tiap acara keluarga. Gue nggak pengin ikutan. Gue mau, sekalinya ada perempuan yang gue bawa ke depan Ibu dan Bapak, perempuan itulah yang nantinya bakal gue nikahi.

“Yang punya toko keramik itu cakep lho,” suara Roman samar-samar menembus pendengaran gue.

“Oh, ya?”

Dia mengangguk. “Nggak ketemu?”

“Nggak tahu yang mana orangnya.”

Roman berdecak. “Namanya Nada. Imut banget anaknya. Rambutnya panjang, sepinggang, hitam, lurus. Mukanya mungil-mungil lucu gitu. Beneran kayak Barbie hidup. Cuma kurang kaki kayak enggrang aja, tapi nggak cebol juga. Ideal lah buat cewek. Kalau dipeluk, pas di bawah dagu gitu kepalanya.”

"Inget bini, woy!" Gue melempar pulpen ke arahnya.

Dia menyeringai.

Gue cukup percaya selera Roman. Dia bukan tipe orang yang gampang muji cewek cantik. Sebelas-dua belas sama gue. Jadi, kalau dia bilang tuh cewek cantik, ada kemungkinan 95% beneran cantik.

Tapi, ciri-ciri cewek yang gue temui di toko keramik tempo hari nggak sama kayak yang dibilang Roman. Cakep juga, tapi lebih ngasih kesan seksi, bukan imut-imut. Rambutnya pendek sebahu, diwarnai cokelat. Lebih kayak tipe kesukaan gue, dibanding sama cewek yang dibilang Roman.

“Dia juga udah nikah sih...”

Gue, yang tadinya asyik ngobrol sambil mengutak-atik laptop, sedikit menoleh mendengar kalimat terakhirnya. “Siapa?”

“Yaelah, si Nada. Siapa lagi?” dumelnya. “Lo nggak denger dari tadi gue ngomong apaan?”

“Denger. Cuma mau mastiin,” balas gue.

At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang