Berta melempar pandangan horor saat aku menyatakan potongan rambut seperti apa yang kumau pada kapster. Saat aku akan berjalan menuju ruang keramas, Berta menahan tanganku.
“Lo yakin?”
Aku hanya mengerdikan bahu. “Ini ide lo, kan?”
“Ya, tapi nggak gitu juga kali, Nad....” Dia berkata dengan nada gemas. “Maksud gue tuh ya bob sebahu, gitu.”
“Nggak usah nanggung,” balasku. Aku menangkap sedikit kilat bersalah di mata Berta. Dia tahu betapa aku menyukai rambut panjang. Hitam, tebal, mengilap, dan lurus. Rambut impian setiap wanita, kalau kata Remi dulu.
Aku mengembuskan napas kasar, memaksa diri untuk tidak menyangkutkan apa pun dengan lelaki itu lagi. Langkahku mantap mengikuti kapster menuju ruang cuci rambut.
Namun, saat melihat pantulanku di cermin, kemudian tumpukan gunting dan sisir yang ada di sana, nyaliku sedikit menciut. “Eh, hairspa dulu aja deh, Mbak,” ucapku.
Di belakangku, kudengar dengusan Berta. Aku mengabaikannya. Dia hanya melakukan manicure dan pedicure kali ini. Sebenarnya hanya agar dia tidak cuma diam menungguku perawatan.
“Keburu berubah pikiran ntar,” ledeknya, saat aku akan ke ruang ganti untuk mengganti pakaian dengan kain yang disediakan salon.
“Cuma mau memantapkan pilihan,” elakku, yang disambut tawa menyebalkan darinya.
Begitu perawatan masing-masing sudah dimulai, baik aku maupun Berta memilih diam dan menikmati. Berta asyik membaca majalah kecantikan, sementara salah satu petugas salon mengurusi kakinya. Aku sendiri membuka ponsel, mencari gambar model rambut yang tadi kutemukan di Google.
Bukan hanya pendek. Bondol, kalau istilah orang-orang. Tadinya aku pikir, model sekelas Cara Delevingne saja berani melakukannya, seharusnya aku juga tidak perlu takut. Tapi setelah kupikir, Cara sepertinya bukan hanya memotong pendek, melainkan nyaris botak.
Berta benar, itu terlalu berlebihan jika kulakukan hanya karena tingkah Remi. Rambutku jelas lebih berharga daripada lelaki itu. Jauh lebih berharga.
“Mau dipotong gitu ya, Mbak?” tanya petugas salon yang tengah mengurusku. “Sayang lho,” lanjutnya, sebelum aku sempat menjawab. “Rambut Mbak bagus banget. Kalau mau, nanti dimodelin aja, nggak usah potong banyak-banyak.”
Aku hanya tersenyum kecut sebagai tanggapan.
Bagian favoritku dari hair-spa adalah saat pemijatan kepala. Rasanya benar-benar menenangkan. Aku memejamkan mata, menikmati tekanan-tekanan lembut yang diberikan di kepalaku. Dan harusnya aku merasa serelaks mungkin, kalau saja kedatangan Remi pagi ini tidak serta merta merusak pikiranku.
Aku tidak percaya dia benar-benar melanjutkan hubungan dengan selingkuhannya itu. Kupikir, begitu kami berpisah, hubungan mereka juga ikut berakhir. Kukira, kejadian yang kupergoki di hotel itu hanya kekhilafan.
“Nad?”
Teguran itu membuatku membuka mata, mendapati Berta sudah pindah duduk di sebelahku, menatapku dengan pandangan khawatir.
Dia mengusap pelan pipiku. “Lo mikirin apa?”
Aku seketika menegakkan tubuh, melupakan pegawai salon yang sekarang sudah ganti memijat pundakku. Dengan agak gelagapan, aku mengusap wajah, menghilangkan jejak air mata yang entah mengalir sejak kapan.
Berta masih menatapku intens, menunggu jawaban.
Aku memaksakan senyum. “Nggak, nggak penting.”
“Kalau lo nggak mau potong, nggak usah dipaksa kok. Lupain aja saran gue,” ucap Berta. “Gue jadi ngerasa bersalah lo sampe nangis mikirin bakal potong rambut.”
KAMU SEDANG MEMBACA
At Least Once (UNPUBLISHED TANGGAL 18-11-2023)
Fiksi UmumTentang Nada, yang coba kembali percaya cinta. Tentang Okan, yang coba menemukan pendamping hidup. Tentang takdir mereka yang bersinggungan. Tentang masa lalu yang seolah tidak mau melepaskan. *** Do not allowed to copy paste my story for any reason!