#29

6.2K 368 12
                                    

Hazel berlari sekencang yang dia bisa, namun hasilnya nihil. Tiada seorang pun disana. Tetapi Hazel yakin itu bukan cuma imajinasinya. Ada orang yang mengawasinya.

"Siapa dia?"

******
Enjoy

Hazel berusaha melupakan kejadian itu. Dia tidak ingin kepalanya dipenuhi prasangka buruk dan membuatnya menjadi gila. Hazel mencoba bersikap biasa saja.

"Hazel, nanti pulang sekolah temani aku ke toko buku ya?" Pinta Ana.

Hazel sebenarnya ingin menolak permintaan Ana, namun ia akhirnya mengurungkan niatmu untuk menolak.

"Baiklah, tapi sebentar saja ya. Aku ada sedikit urusan." Kata Hazel.

"Terima kasih Hazel. Kau memang sahabatku yang terbaik." Ujar Ana sambil memeluk Hazel.

Hazel melepaskan pelukan Ana itu dengan canggung. Hazel dari kecil memang tidak pernah mempunyai teman karena dia sudah menjadi pembunuh sejak kecil. Jadi Hazel benar-benar tidak biasa mempunyai teman seperti ini. Setiap Ana memeluknya ataupun bersamanya, Hazel selalu berpikir bagaimana jika Ana mempunyai pistol di balik punggungnya. Nalurinya sebagai pembunuh selalu menguasainya.

******

Ana berjalan dengan girang di samping Hazel. Saat ini mereka sedang berada di sebuah gang menuju toko buku yang menjadi tujuan mereka.

Bangunan toko buku yang menjadi tujuan mereka itu tampak sudah tua. Cat bangunannya ada yang terkelupas. Lalu, engsel pintunya berbunyi saat pintunya dibuka. Benar-benar seperti toko buku tua.

Hazel melangkah masuk ke toko buku itu diikuti Ana.

"Kenapa kau memilih toko buku disini? Bukankah banyak toko buku yang lebih baik dari ini? "Tanya Hazel

Ana memainkan jarinya,"Hmm. . Karena disini harga bukunya jauh lebih murah dibanding toko buku lainnya."

Hazel memandang rak-rak buku yang terpajang di depannya. Kebanyakan buku yang terdapat di rak itu sudah usang. Warna kertas bukunya sudah menguning dan banyak debu yang terdapat di permukaan buku.

"Hmm kau benar. Disini harga bukunya pasti lebih murah." Gumam Hazel pelan.

Hazel mengikuti Ana menyusuri rak yang dipenuhi buku-buku itu. Ana menarik sebuah buku tebal dari rak bagian tengah. Buku itu adalah sebuah buku sastra inggris tentang kisah pembunuhan.

"Kau suka buku ini?" Tanya Hazel saat melihat buku itu. Hazel tahu buku itu, dia pernah membacanya untuk menyingkirkan rasa bosan beberapa waktu lalu. Buku itu mempunyai kisah yang sangat bagus. Bahkan Hazel pernah berpikir bahwa penulis buku itu adalah seorang pembunuh karena kisah pembunuhan dalam buku itu terasa sangat nyata, seakan-akan penulisnya pernah melakukan pembunuhan.

"Iya, aku sangat menyukai kisah dalam buku ini. Sayangnya, harga buku ini sangat mahal jika kubeli di toko buku biasa." Ujar Ana sambil membolak-balikkan lembar buku itu untuk memastikan tidak ada bagian buku itu yg robek.

Ana membawa buku itu ke kasir toko buku. Lalu, Ana mengeluarkan uang dari dompetnya dan membuat buku itu. Setelah itu, Ana keluar dari toko buku itu. Sepanjang perjalanan, Ana tidak henti-hentinya membicarakan buku yang baru dibelinya.

"Menurut kau, apa aku dapat menghabiskan buku ini dalam sehari?" Tanya Ana dengan mata berbinar-binar.

"Mungkin, jika kau tidak punya kegiatan lain selain itu dalam sehari karena buku itu sangat tebal untuk dibaca dalam waktu singkat." Jawab Hazel.

Waktu itu, Hazel membaca buku itu dalam waktu kurang dari 3 jam. Padahal buku itu memiliki halaman lebih dari 1000. Hal itu tidak terlepas dari latihan Hazel semasa dia masih menjadi anak buah Jose. Dulu, dia dilatih membaca cepat demi menyerap informasi dalam waktu singkat. Seperti membaca data diri orang yang akan menjadi targetnya. Hazel harus menghafal dan membaca data diri dan layar belakang targetnya dengan cepat dan teliti karena selang waktu antara satu misi dan misi lainnya sangat tipis.

Tak terasa Hazel sudah mengantar Ana sampai kamar asrama Ana. Ana membuka pintu kamar asramanya dan melambaikan tangannya kepada Hazel,"It's nice to hang out with you. See you tomorrow at class."

Hazel berjalan menuju kamar asramanya dengan langkah pelan. Lalu, ia kembali merasa ada yang mengikutinya. Hazel berjalan sesantai mungkin, lalu dia membalikkan badannya dengan gerakan yang tiba-tiba. Namun yang dilihatnya hanyalah lorong gelap yang kosong. Hazel berlari mencari jejak orang yang mengawasinya, namun jejaknya tidak ada.

"Tidak mungkin itu hantu, aku masih dapat merasakan bekas keberadaan orang disana. Namun, dia menghilang seperti asap bersama jejaknya." Pikir Hazel di dalam hati.

Hazel memejamkan matanya dan bsrkonsentrasi. Dia menajamkan indera pendengarannya untuk mendengar bunyi sekecil apapun. Lalu, dia mendengar suara deru napas pelan sekitar 70 meter di belakangnya.

Hazel tersenyum, dia tahu siapa orang yang mengawasinya. Orang itu adalah seorang mata-mata profesional. Hal itu dapat diketahui dari deru napasnya yang teratur. Umumnya, jika kita sedang mengawasinya seseorang. Otomatis napas kita akan menjadi tidak teratur karena takut ketahuan. Hanya seorang profesional yang dapat tenang ketika sedang memata-matai seseorang. Lagipula dia tidak mungkin bisa menghilang dan menghapus jejaknya secepat itu jika dia bukan seorang profesional.

Hazel menghela napas. Sebagai pembunuh bayaran, dulunya dia merupakan orang yang memiliki banyak musuh daripada orang-orang seprofesi-nya yang lain. Hazel tidak hanya memiliki musuh dari bekas targetnya, namun juga dari orang-orang yang memiliki profesi yang sama dengannya. Kalau tidak salah, waktu itu Hazel mengambil misi seorang pembunuh bayar lain karena Hazel merasa dia lebih berkompeten atas misi itu.

"Seorang musuh lagi ya?" Tanya Hazel pada dirinya sendiri dengan bosan.

To be continue


GIRL ACT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang