Sawala

3.3K 425 8
                                    

Desa Wates, tapal batas Kerajaan Jenggala, terlihat ramai. Iring-iringan rombongan kerajaan terlihat berjalan mengular melewati desa tersebut. Semuanya memakai kain putih tanda berduka untuk raja dari kerajaan saudara mereka.

Para penduduk berdiri berjejer, sembari membungkukkan badan bahkan ada yang bersimpuh saat para keluarga kerajaan lewat. Mereka ingin menyaksikan Raden Panji Asmarabangun yang gagah, yang kelak akan menjadi raja mereka.

Rombongan begitu ramai karena hampir seluruh keluarga kerajaan dan para petinggi pergi ke Kediri untuk ikut berduka cita sekaligus melangsungkan pernikahan antara Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji setelah tujuh hari kematian Sang Raja Kameswara.

Mereka belum tahu prahara yang terjadi di Kerajaan Kediri tentang diusirnya Candrawulan dan Sekartaji dari kerajaan.

Raja Erlangga hanya mengetahui tentang kematian saudaranya dari surat kerajaan yang dikirimkan melalui burung merpati dan berita yang telah tersebar di seluruh kerajaan.

Wasesa, pemuda yang mendapat perintah dari Candrawulan sedang berada di sebuah kedai di desa yang dilewati rombongan tersebut. Saat seluruh orang keluar dari kedai dan berdiri berjejer di jalan, dia pun mengikutinya.

Dia tahu itu adalah rombongan dari Kerajaan Jenggala dan tujuan dia adalah bertemu langsung dengan Raden Panji Asmarabangun, tapi dia tidak tahu yang mana.

Dia belum pernah bertemu langsung, dan saat ini seluruhnya memakai pakaian yang sama. Berbusana kain putih tanpa perhiasan dan berkuda. Hanya permaisuri yang menaiki kereta, selain itu, raja, patih, tumenggung, bahkan pangeran pun berkuda.

Dia juga tidak bisa dengan gegabah masuk menyela rombongan dan memanggil-manggil nama Panji Asmarabangun.

Wasesa terus mengamati hingga lewatlah seluruh rombongan dan tersisa rombongan terakhir, para prajurit yang berjalan kaki yang jauh dari rombongan utama di depan.

"Aduh." seorang pemuda yang sedang ikut berdiri menyaksikan iring-iringan, tiba-tiba jatuh tengkurap di hadapan para prajurit, "siapa yang mendorongku?"

"Aku." kata Wasesa yang berdiri di pinggir jalan.

Pemuda yang jatuh itu bangkit lalu hendak memukul Wasesa, terjadilah pergumulan seru.

Beberapa prajurit kerajaan yang melihatnya pun berhenti berjalan dan menghentikan aksi mereka berdua.

"Siapa biang keributan ini?" seru salah seorang prajurit kerajaan.

"Saya, Tuan. Maafkan hamba." Wasesa membungkukkan badan di depan salah seorang prajurit.

"Kenapa kamu?"

"Saya mendorongnya hingga terjatuh, hukumlah saya." Wasesa menyodorkan tangannya.

"Manusia yang hebat adalah yang mau mengakui kesalahannya, aku salut padamu pemuda. Hal sepele seperti ini tidak akan ada hukuman, kami ada urusan." prajurit tadi lalu pergi.

"Tunggu, Tuan. Bukankah setiap pembuat onar akan mendapat mendapat hukuman, bawa saya sampai urusan tuan-tuan selesai." Wasesa bersimpuh.

Prajurit tadi merasa heran lalu tersenyum, "bawa dia!"

Lalu prajurit yang lain menarik dan menggaet lengan Wasesa dan dibawa bersama mereka menuju Kediri. Terlihat senyuman terukir di wajah Wasesa.

...

Ande-ande Lumut : Yuyu Kangkang & Klenting Kuning [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang