Bab 8

1.5K 132 15
                                    

Perlahan, Sierra membuka kedua kelopak matanya. Bau busuk menyapa indra penciuman. Cairan kental berwarna merah yang menciprat di dinding atau di lantai memenuhi pandangan mata. Ia menutup hidung dengan telapak tangannya. Belum sepenuhnya sadar, Sierra mengedipkan mata beberapa kali.

Dia duduk di atas lantai, begitu saja tanpa alas dan bersandar pada dinding tua. Tidak ada jendela dan celah lubang di ruangan itu. Tampak ada pintu besi di sana.

Dengan langkah hatu-hati karena pencahayaan kurang, Sierra berjalan menuju pintu besi itu. Ia menggedor-gedor dengan kencang dan terus berteriak meminta pertolongan. Seperti kera hutan yang tiba-tiba saja dikurung.

"TOLONG!" teriak Sierra.

Masih dalam suasana yang sama. Sepi. Tangan Sierra mulai berwarna merah dan terasa sakit. Hawa panas dan kurangnya sumber udara membuatnya harus mengibaskan tangan.

Gadis itu melirik sekeliling ruangan. Ada mayat yang tergeletak naas dengan kondisi mengerikan di atas lantai. Darah mengalir di sekujur tubuhnya. Perut mayat itu terbuka lebar menampakan organ-organ yang berceceran mengenaskan. Lehernya juga memperlihatkan luka menganga.

Sierra memekik pelan. Ia menutup kedua matanya. Rasa takut sudah pasti menghantui dirinya. ia ingin kabur serta lari dari tempat aneh ini. Tapi ia terkurung, tak bisa lepas dari ruangan sepetak.

"Bagaimana ini? Oh Tuhan," kata Sierra pasrah.

Apa ia akan bernasib sama dengan mayat yang ia lihat? Apa ini adalah hari terakhirnya untuk hidup? Apa harus secepat dan semyeramkan ini caranya ia pergi? Apa ini benar-benar nyata?

Satu tetes air mata mengalir pelan dari sudut mata. Tubuh terasa lemas sehingga ia jatuh terduduk. Sekali lagi, Sierra berteriak keras mencari pertolongan.

"AKU MOHON, TOLONG!"

Klek.

Suara kunci pintu terbuka. Sontak, Sierra menoleh cepat ke arah sumber suara. Bukan senyuman lega yang mengembang setelah pintu terbuka, tapi ketakutan hebat yang malah bertambah muncul.

Dia berusaha bangkit dari duduk dan berjalan mundur ke belakang. Sesekali ia hampir terjatuh, tapi tetap Sierra menahan badannya untuk terus berdiri dan berjalan mundur.

"Menjauh," ucap Sierra pelan hampir seperti bisikan yang terbawa angin.

Pandangannya tak luput dari mayat dan orang di hadapannya. Sierra masih berjalan mundur hingga ia menabrak dinding di belakangnya. Tak ada ruang untuk berjalan lagi.

"Selamat datang, Sierra," sapa wanita dengan jubah hitam dan masker putih penuh bercak darah. Si pembunuh.

"Aku tidak ingin menjadi korbanmu!" tolak Sierra.

Ia hendak berlari menuju pintu dan melewati si pembunuh. Namun dengan cepat, pembunuh itu menarik lengan tangan Sierra, ia mendorong Sierra kembali ke dinding tempat semula.

Bersamaan dengan punggung Sierra yang menghentak dinding, pembunuh mengeluarkan sebuah pisau tajam dari balik saku jubah hitam.

"Aku tidak menerima penolakan, baby girl," katanya dengan suara yang masih saja terdengar sama.

Sierra hanya bisa berdoa dalam hati, ia tak dapat melakaulam apapaun lagi, seakan gerakannya terkunci.

"Bukankah ini yang kau inginkan? Bertatap mata denganku, bertemu denganku, lalu melenyapkanku. Tapi sayangnya, kau lebih dulu lenyap." Pembunuh itu meninggikan letak pisau di tangannya.

"Tidak, aku tidak..." Sierra tak dapat berucap, lidahnya terasa kelu. Kata-kata itu hanya berhenti di ujung lidah.

Pembunuh itu kini sudah berada dua langkah di hadapan Sierra. Dia tertawa penuh kemenangan, mengisi keheningan yang ada dalam ruangan kosong ini.

Dark Side GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang