"Gue paham, ternyata menjadi seorang detektif itu nggak gampang."
Kalimat itu terus-terusan mengganggu telinga dan pikiranku. Aku tak mengerti mengapa kata-kata Yudha begitu menggalaukan. Apa aku harus berhenti menjadi seorang detektif ? Aku merasa bahwa kami berdua tak ada bakat untuk itu. Yudha juga pasti nggak akan marah jika aku putuskan untuk berhenti berpetualang dalam dunia penyelidikan. Bagaimana aku dengannya bisa menyelesaikan kasus-kasus jika satu sekolah saja tak ada yang percaya pada kami. Apalagi sudah tak ada harapan klub ini akan diresmikan sekolah. Toh, nggak ada manfaatnya juga untuk sekolah. Apalah kami hanya dua orang anak berambisi dan berpotensi untuk ditertawakan satu sekolah. Ah, cemen banget sih lo, Pan.
"Perkenalkan, nama gua Aria Sopan Hidayat, panggil saja Sopan. Iya, Sopan. Seriusan. Tapi nggak usah pake santun. Nanti malah jadi motto sekolah yang 5-S (Salam, Sapa, Senyum, Sopan, Santun). Gua kelas 11 IPS-2 kalo nggak salah. Bentar deh gua cek buku pelajaran gua dulu ya. Tuhkan bener, gua emang IPS-2. Oh iya, sekedar informasi jadi muka gua Arab, hidung gua India tapi hati gua Indonesia. Nggak berfaedah banget ya? Terus gua juga kategori anak tinggi kalo lagi berdiri diatas kursi. Tipekal body kurus tapi ya nggak kering-kering amat kok. Yang paling peting gua itu pemakan segala. Maksudnya segala apa saja yang gratis, yam. Gaya gua keren banget kalo nggak dibandingin orang-orang. Apalagi potongan rambut gua yang gatau model apaan. Gua salah satu member team detektif disekolah ini. Dan gua siap menyelesaikan kasus-kasus dengan sempurna." Aku mengakhiri ucapanku dihadapan cermin dengan gaya tangan sempurna ala Demian pesulap di TV.
"Alay banget sih lo, Pan," celetuk Yudha yang tiba-tiba datang membawa berkas-berkas penting sepertinya.
"Ah elo, Yud. Kagak bisa apa dikit aja liat temen lo seneng,"
Dia namanya Yudha Prathama, pindahan dari Makassar dua bulan yang lalu dan nyangkut di kelasku. Dia adalah member terakhir di team detektif ini. Iya, jadi team detektif ini hanya beranggotakan dua orang saja. Yudha ini tipekal orang pekerja keras, keras kepala, kepala besar. Eh, nggak. Dia nggak kepala besar tapi bertekad besar maksudnya. Ide-ide yang dicetusnya memang terbaik, namun setelahku tentunya. Bahkan ia punya satu keinginan yang sama denganku yaitu menjadikan klub ini sebagai ekskul resmi disekolah. Keren kan?
"Ada apa, Yud?" tanyaku.
Yudha meletakan beberapa kertas di atas meja. Oh iya, sebenarnya meja ini sudah rusak. Tapi, aku dan Yudha merakitnya kembali hingga sekarang bisa digunakan. Lalu kursi-kursi ini gua dapetin dari perpustakaan. Dan gudang ini sudah mulai tertata rapi karena aku dan Yudha yang telah menempatinya sekitar dua minggu. Kami memang tak punya ruangan kerja, tapi kami inisiatif mencari akal untuk mendapatkan ruangan kerja atau tempat nongkrong kami. Gudang ini sepi dan tak pernah ada yang mengunjunginya selain kami berdua.
"Elo tau nggak, kenapa kita nggak pernah bisa menyelesaikan kasus-kasus ini?" tanyanya.
"Kasus yang mana?" tanyaku balik.
"Itu?"
"Iya, ini." Unjuknya.
"Dari mulai kartu Gaple dikelas, kita nggak pernah nemuin siapa yang bawa kartu itu sampai satu kelas dihukum semua sama Bu Nefri."
"Terus sepatu Pak Edy yang hilang, sampai sekarang kita nggak bisa nemuin satu sepatunya. Kasian dia pulang pake satu sepatu. Sudah mana mahal tuh sepatunya."
"Hah?" ucapku kaget.
"Inget sama Bola basket yang tiga hari lalu bocor? Itu kan nggak mungkin bisa bocor sendiri."
"Iya, kita ngaku sebagai detektif sekolah. Namun pada kenyataannya belum ada satu kasus pun yang terselesaikan sampai sekarang."
"Apa kita bubar aja, Yud?"
KAMU SEDANG MEMBACA
5 DETEKTIF PE'A
Teen Fiction[completed] Rank #40 in #Detektif [24/05/2018] Rank #91 in #Detektif [08/06/2020] Rank #64 in #kasus [06/06/2020] Rank #53 in #kasus [08/06/2020] Detektif abal-abal, anggotanya memang kadang [PE'A] semua, apapun cara dilakukan untuk menyelesaikan be...