Bagian 11 - Lucu Ya?

1K 96 1
                                    

Setelah usai dari ruang guru, aku kembali lagi menuju lapangan. Ku dapati sudah tak ada lagi Omen di sana. Secepat itu ia menghilang. Padahal aku hanya berbincang-bincang di dalam ruang guru bersama Bu Widayati dan Agnes. Bu Widayati adalah guru mata pelajaran bahasa Indonesia untuk kelas X. Aku ditugaskan untuk membantu Agnes berlatih membuat sebuah cerpen untuk dilombakan. Ya, mungkin Bu Widayati menugaskanku karena memang aku pernah ikut lomba membuat cerpen sewaktu kelas X dan mendapatkan juara 1 saat itu.

Aku kembali fokus pada tujuanku. Setelah tak menemukan Omen di sekolah, aku kembali pulang ke rumah. Sesampai di kamar, aku menyalakan AC dan berebahan sebentar. Seusainya, aku mandi dan bersiap untuk menulis. Ya, aku melanjutkan untuk menulis novelku yang sudah ku tulis sejak Agustus lalu. Walau baru sepuluh bagian yang sudah ku tuliskan, namun bagiku ini sudah cukup bagus. Sebenarnya aku ingin menuliskan cerita 5 Detektif-ku, tapi rasanya sudah hampir tak bisa. Bagaimana tidak begitu? Lihat saja sekarang kondisi 5 detektif kami! Semua cerita seakan hilang, semua tawa seakan membenci kenangan.

Dan sial! Jari-jari tanganku masih menari tanpa menekan keyboard yang ada di depan penglihatanku. Otakku seakan membeku tanpa ada satu kata pun yang mampu terketik. Aku tidak tahu lagi mengapa bisa terjadi. Akankah novelku akan terhenti begitu saja? Akankah semua ini sia-sia? Entah! Jelas-jelas detik ini juga aku masih belum bisa memikirkan kelanjutan dari novelku. Kacau! Semakin keras aku berpikir, semakin susah untuk menulis. Ku tutup laptopku dan aku langsung mencari handphone. Ku cari nama di daftar kontak handphone milikku. Yudha, aku langsung menghubunginya lewat pesan suara. Masih berbunyi tersambung, namun belum dijawabnya.

Hingga aku kesal sendiri karena Yudha lama mengangkat telfonku. Ku alihkan untuk menelfon Aenun, namun nomornya tidak lah aktif. Entah mengapa aku tak tahu. Selanjutnya Hillary, tiba-tiba saja telfonku di tolak. Aku cukup terkejut kala itu. Hillary tak pernah ada marah apapun padaku. Terakhir kali, dia memang marah dan ngotot untuk keluar dari tim detektif. Tapi, kami memang tak pernah menemukan alasan yang jelas mengapa ia pergi begitu saja.

Tinggal tersisa Ambon, harapanku satu-satunya.

"Halo, Pan. Ada apa?" Suara khasnya terdengar di telingaku. Ya, itu Ambon.

"Bon, lo dimana?" tanyaku.

"Gua masih latihan basket." Jawab Ambon dengan nafas ngos-ngosan.

"Oh, yaudah nanti gua hubungi lagi." Kataku ingin mengakhiri sambungan telfonnya.

"Oke, siap" jawabnya.

Aku menutup telfonku. Aku masih belum bisa berpikir mengenai kelanjutan novelku. Aku masih belum bisa mencari ide-ide di dalam pikiran buntuku. Aku mengalihkan kegiatan dengan tidur. Ya, mungkin yang aku butuhkan sebentar ini adalah ketenangan. Ya, aku mungkin butuh waktu untuk istirahat walau sejenak. Waktu untuk menjernihkan segala pikiran yang keruh, meredamkan semua amarah yang bersemu. Ya, aku butuh waktu untuk tidur.

"Bang, bangun!" tiba-tiba suara mengangguku. Aku terbangun dari mimpi yang tak ku ingat lagi.

"Kenapa, dek?" tanyaku pada adikku, Puput namanya.

"Itu, di luar ada temennya," serunya lalu pergi keluar dari kamarku.

"Siapa?" tanyaku bangun dari tempat tidur. Ku lihat jam menunjukan angka setengah lima. Aku bergegas cuci muka dan mengambil air wudhu. Setelah selesai sholat ashar, aku berjalan menuju teras rumahku.

"Ambon," panggilku kala melihatnya duduk di bangku teras rumahku.

"Iya, Pan."

"Udah lama, lo?" tanyaku.

"Nggak lama, Pan. Santai!"

"Masuk, Bon!" ajakku masuk ke dalam rumah.

"Ada apa, Bon?" tanyaku.

5 DETEKTIF PE'ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang