Aku turun kebawah saat aku sudah baikan dan berjalan kedapur. Kulihat Kayla, Maria dan ibukku sedang asik membuat cupcake. Maria tampaknya senang menghabiskan waktu bersama kayla.
“ mom, lihat! Nenek mengajari kami membuat cupcake!” katanya sambil berseru girang dan mengacungkan kue yang tinggal dipanggang saja kearahku. Aku tersenyum dan duduk dikursi.
“ mom baik-baik saja?” kata kayla lalu menghampiriku menyadari aku diam saja.
“ agak pusing sedikit tadi, tapi sekarang sudah baikan.. ayo sana panggang kuenya..” kataku. kayla lalu tersenyum dan memasukkan baki-baki kedalam oven. Maria duduk didepanku.
“ hai maria.. kau senang membuat kue?” dia mengangguk senang. Ibuku lalu mengelap keringat didahinya dan berkacak pinggang. “oke, semua kue sudah dimasukkan! Tinggal tunggu beberapa jam lalu kita hias ya..” ujarnya. Kayla dan Maria bersorak.
“ mom, kami keatas dulu ya, mau main..” Kayla mencium pipiku lalu mencium pipi ibuku dan mereka berdua berlari keatas menaiki tangga. Ibuku tertawa kecil melihat mereka berdua.
“ aku ingat ketika kau kecil kau selalu seperti itu..” katanya, “senang jika aku membuat kue, membawa temanmu kerumah..” ujarnya. Aku tersenyum.
“ aku tidak punya saudara lagi.. jadi aku hanya bermain bersama temanku..”
“ yeah…” wajah ibuku murung mengingat aku hanya anaknya satu-satunya. Kandungan ibuku lemah. Orang-orang bilang dia tidak bisa hamil saat muda, tapi lahirlah aku dan mereka sangat bersyukur aku lahir. Melahirkan butuh perjuangan dan pengorbanan. Ibuku menghabiskan banyak darah dan konon katanya hampir tewas saat melahirkanku. Mulai dari situ, dokter memberi saran untuk tidak mempunyai anak lagi mengingat apa yang ibuku alami saat melahirkanku dan kondisinya yang lemah. Sampai sekarang ibuku masih merasa bersalah aku hidup dalam kesendirian, tidak mempunyai saudara seperti ini. Tapi aku selalu bilang aku baik-baik saja karena aku mempunyai mereka dan teman-temanku saat itu, dan sekarang ditambah dengan Grant dan kayla, juga keluarga besar Grant- aku baik baik saja. Aku terdiam sebentar. Kisahku tidak jauh berbeda dengan Kayla. Tanpa aku sadari, aku ingin memberikan Kayla adik dan berdoa supaya aku cepat-cepat hamil. Aku tidak mau anakku merasakkan apa yang aku rasakan saat aku kecil dulu. Sendirian.
“ sayang?” kata ibuku membuyarkan lamunanku. Aku terlonjak lalu memijat-mijat keningku
“ apa yang kau pikirkan? Kau mual lagi?” tanyanya, aku menggeleng
“ mom..” kataku dengan nada serius, “begini..” ujarku, aku melipat kedua tanganku diatas meja
“ belakangan ini, aku dan Grant sedang mencoba untuk punya anak lagi..” aku menunggu ekspresi ibuku berubah, tapi dia hanya kalem tersenyum mendengarkan.
“ lalu apa yang kau khawatirkan?” tanyanya. Aku menatapnya lalu menghela nafas
“ aku tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau tidak..” ibuku tersenyum. Dia duduk disebelahku dan mendekatkan kursinya kearahku.
“ aku yakin ini keputusan yang tepat..” ujarnya membuat hatiku tenang
“ ya?” dia mengangguk
“ kayla sudah besar sekarang, sayang. Lihatlah dia.. dia butuh teman bermain.. kau ingat betapa menyesalnya aku tidak bisa memberimu adik sampai sekarang?”
“ mom…” aku menggenggam tangannya. Ibuku menggenggam tanganku lebih erat lagi.
“ kau dan Grant adalah orangtua yang sangat sempurna sayang.. kalau kau yakin… maka semuanya akan baik-baik saja.. kau tidak mau kayla sendirian kan?” aku menggeleng pelan. Dia mengecup keningku
“ kau dapat restuku sepenuhnya kalau soal ini..” aku tertawa kecil mendengarnya
“ mom..” ujarku lagi, “terimakasih..” dia tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian pintu dibuka dan Grant masuk kedalam dapur. Ibuku dan aku bangkit dan memberinya pelukan. Grant menciumku dibibir dan aku menepuknya, malu- didepan ibuku. Ibuku hanya tertawa melihat kami.
“ mana kayla?”
“ dia diatas bersama maria, menunggu untuk menghias cupcake..”
“ wow yey cupcake!” Grant bersorak girang seperti anak kecil. Dia membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral dan dia meneguknya sampai habis.
“ kau baikkan?”
“ yeah, lumayan..” ujarku. Grant duduk disebelahku. Ibuku keluar sebentar dari ruangan, membiarkan kami berbincang.
“ bagaimana harimu?”
“ selesai semuanya, aku capek sekali..” katanya
“ aww. Kasihan..” aku memanjakannya sambil mengelus pipinya, dia tertawa
“ hei, aku sudah bilang keibuku rencana kita punya anak lagi..”
“ apa reaksinya?”
“ dia setuju..” aku tersenyum dan Grant ikutan tersenyum.
==========================================================================
Besok paginya aku kembali tidak enak badan dan Grant menjagaku dirumah seharian. Ibuku datang tengah harinya untuk membawakanku makanan dan sebagainya. Dia bahkan menyuapiku bubur kali ini. Keadaanku jauh lebih buruk dari kemarin.
“ aku rasa kau harus kedokter, sayang..” kata ibuku
“ ergh, tidak perlu mom.. aku akan baik-baik saja..” Grant duduk tidak jauh dariku
“ aku rasa ibumu benar, sayang. Kau harus ke dokter..” ujarnya khawatir. Aku menoleh kearahnya lemas dan dia mengangkat kedua alisnya. Aku mengerang kesal. Aku tidak suka kedokter. Hawa rumah sakit membuatku takut. Aku tidak suka ketika dokter mendekatkan stetoskopnya ketubuhku dan mendengarkannya, atau dia menyuntikku. Tidak!
“ atau aku hanya akan minum obat saja.” Tawarku, tapi mom dan Grant sepertinya tidak sepakat denganku. Aku mengerang lagi. Grant sudah mengambilkan jaketku dan ibuku sudah bangkit berdiri.
“ aku akan jaga kayla, kalian pergilah..” ibuku menciumku, lalu mencium Grant. Dengan langkah gontai Grant menggenggam tanganku untuk berjalan.
Sesampainya dirumah sakit, rumah sakitnya sepi karena masih siang- kurasa. Giliranku masuk. Aku duduk dibangku untuk menjelaskan apa yang kurasakan. Grant tersenyum kearahku ketika aku sedang berbaring untuk diperiksa. Ugh, stetoskop.
“ well, sepertinya kau baik baik saja..” ujar dokter itu sambil melepaskan stetoskopnya dari lehernya. Aku menghela nafas lega. Aku turun dari ranjang periksa dan kembali duduk disebelah Grant. Dokter itu menyuruhku untuk meminum vitamin dan terakhir dia bertanya,
“ mrs. Schmidt, maaf, sudah berapa bulan kau tidak dapat teratur?” tanyanya. Aku melongo lalu memandang Grant. Aku berdehem dan berpikir, juga menghitung. Well, sudah ada mungkin lebih 2 bulan kurasa. Dan barulah aku sadar selama ini aku tidak sadar dan selama kami berhubungan kami tidak memakai pengaman.
“ ehm, 2 bulan…. Mungkin..” aku menjawab ragu dan melihat kearah Grant. Dokter itu menatap kearahku, lalu menambahkan sesuatu kedalam resep obatnya.
“ oke..” katanya sambil menghela nafas lalu menyobek lembaran resep tersebut, aku menerimanya
“ kau harus berhati-hati untuk makan sekarang, mrs.schmidt.. kemungkinan ada bayi didalam kandunganmu.." []