Ep.00

265 12 2
                                    

Hari gelap lainnya di bulan ini. Musim hujan telah masuk ke kota kecil ini sejak awal tahun. Awan hitam yang membawa uap air menjatuhkan isinya ke bumi dan membuat semuanya basah.

Hujan deras dengan langit yang begitu gelap tidak menggerakkanku sama sekali. Terdiam dan berdiri di trotoar, bersandar pada tiang lampu lalu lintas, tanpa perlindungan. Melihat kota yang tetap sibuk meskipun hujan selalu dikaitkan dengan kata sepi.

Seragamku yang didominasi oleh warna biru gelap menjadi basah kuyup karena tangisan langit ini. Surai coklat gelapku sampai-sampai menutupi mata kiriku. Tangisan langit ini mengetahui segala perbuatanku. Dia menangis karena tahu akan dosaku. Dosaku yang amat besar.

Sudah hampir satu jam lamanya sejak aku berdiri di tempat ini. Melihat keadaan, menatap langit yang terus saja menangis.

Sesekali, dia marah. Dia kecewa. Kemarahan ia luapkan. Teriakan ia keluarkan. Kencang. Semua orang ketakutan karenanya. Takut akan amarah dan teriakannya.

Tidak ada yang bisa melawannya. Seseorang akan menjadi korban dari amarah dan rasa kecewanya. Dia marah padaku, seharusnya aku yang jadi korbannya saja. Dia menangis, dan juga marah padaku. Kecewa atas dosaku selama ini.

Amarahnya begitu berbahaya. Mampu membunuh. Mampu memberikan rasa sakit yang luar biasa. Semua orang akan merasa terancam dan takut padanya yang kecewa. Kadang dia hanya menangis, kadang dia bisa seperti ini. Mengeluarkan amarahnya juga.

Aku kembali pada permukaan tanah. Di mana korban-korbannya berada. Lampu hijau menyala dengan terangnya berada jauh di seberangku. Begitupun di sini. Cahaya hijau yang terang menyorotiku yang masih ada di bawah lampu lalu lintas.

Mereka semua berbondong-bondong menyebrangi jalan menyisakan diriku sendiri yang hanya melihat kesibukan yang tiada hentinya. Hanya melihat korban-korban yang sibuk dengan kehidupan masing-masing pada sore yang penuh rasa kecewa ini. Hanya menatap tanpa pikiran akan apapun.

Kebisingan tempat ini sesekali mengganggu indera pendengaranku. Senda gurau mereka menambahkan. Mereka bicara tentang berbagai hal yang tak bisa kudengar sama sekali, karena terhalang oleh suara tangisan langit yang menghantam mereka. Mereka yang berlabel 'tidak bersalah'.

Aku mencoba melihat ke seberang jalan dan melihat keramaian di sana. Namun, entah mengapa aku terfokus pada sesuatu di balik keramaian itu. Sosok pria dengan aura hangat berdiri tepat di seberangku. Dia sama sepertiku. Tidak menyebrang seperti yang lainnya.

Ia mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Dilengkapi oleh dasi hitam dan celana serta sepatu yang senada dengan jas dan dasinya. Namun, aku tidak bisa melihat wajah hangatnya itu karena tertutupi oleh payung yang ia pegang. Aku hanya bisa melihat mulut dan dagunya saja.

Tiba-tiba saja sosok itu nampak tersenyum. Senyumannya terbentuk sedikit aneh. Tapi, masih tetap hangat. Entah mengapa rasanya senyumannya itu sangatlah familiar. Ditambah lagi aku merasakan kehangatannya di antara dinginnya udara. Senyumannya begitu khas bagiku.

Aku mencoba mengingat siapakah pria itu. Siapakah pria yang memiliki aura hangat sepertinya? Mungkin saja aku mengenalinya.

"Ugh..."

Mendadak kepalaku terasa sangatlah berat. Aku menundukkan kepalaku dan memegangnya dengan salah satu tanganku yang sudah mengkerut. Tubuhku juga terasa aneh. Tapi, kuabaikan semua itu dan mencoba kembali melihat sosok pria tadi. Pria itu masih berdiri di tempat yang sama dengan posisi yang sama.

Pandanganku tiba-tiba saja menjadi kabur. Aku tidak bisa melihat pria itu dengan jelas lagi. Aku melihatnya yang nampak bergerak. Dia bergerak pergi.

Pergi dari posisinya.

Pergi dan menghilang di balik keramaian.

.
.
.
.
.
.
.
.

Bitter Fate (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang