"Bimasena Caraka!"
Bima melepaskan tangannya dari pinggang Personal Assistant yang sedang berdiri diantara kedua kakinya yang terbuka. Wanita cantik itu buru - buru merapikan kemejanya yang sudah berkerut sambil keluar dari ruang kerja Bima. Dia tidak berani melihat presiden direktur Caraka Group yang juga ayah dari Bimasena Caraka.
Bima mendesah melihat ayahnya yang datang sambil berteriak. Selalu seperti itu. Ayahnya benar - benar harus lebih santai sedikit. Membuka pikirannya agar tidak gampang emosi. Melihat bagaimana pembuluh darah yang menonjol di keningnya, Bima yakin penyakit jantungnya akan datang lagi.
"Tumben datang ke sini. Ada apa Yah?" tanya Bima ramah.
"Kamu harus berubah Bima!" perintah Yudi yang tidak menanggapi pertanyaan Bima.
Bima menaikkan alisnya, "berubah? Apa yang harus kurubah?"
"Kelakuanmu itu. Sudah berapa banyak PA yang kamu telanjangi, Hah?!"
Bima bersiul senang, "Nice word, Yah"
"Bima!" berang Yudi.
"Ya?" tanggap Bima santai.
Yudi menggertakkan gigi menahan amarah. Dia tidak tahu harus melakukan apa pada putra sulungnya itu. Bima seorang playboy, suka bersenang - senang dan tidak memiliki aturan. Bima melayangkan tangannya ke semua wanita cantik yang datang padanya. Entah sudah berapa banyak wanita yang dia tiduri dan berapa banyak pacar, tunangan bahkan suami yang mencari - cari Bima.
Dari kecil, Bima adalah anak yang tidak bisa diatur. Dia tidak pernah menuruti apapun keinginannya. Disaat dia ingin Bima belajar, anak lelakinya itu malah menghabiskan waktu dengan bola basket. Disaat dia menyuruh Bima menjadi penggantinya, Bima malah mengatakan akan menjadi seorang pemain basket profesional dan pergi ke Amerika dengan beasiswa.
Hanya saat dia sekarat Bima mau melepaskan impian konyolnya itu dan belajar bisnis. Dan lihatlah sekarang, Bima dikenal sebagai CEO yang sukses. Menjadi salah satu CEO yang kaya di antara jajaran CEO di Indonesia. Namun Bima tidak pernah mau melihat keberhasilannya dan tetap merasa bahwa menjadi atlet Basket adalah yang terbaik untuknya.
"Kamu harus menghentikan main - mainmu Bima. Kalau tidak...."
"Aku akan digantikan Dimas?" potong Bima
Bima santai tak peduli saat Yudi tidak memberikan bantahan.
"Silahkan. Aku tidak keberatan. Bahkan aku senang sekali. Tempat ini memang dari awal milik Dimas. Aku juga sudah punya rencana untuk menghabiskan waktu santaiku"
"Apa yang kamu rencanakan?" tanya Yudi dengan waspada.
Bima tertawa melihat keseriusan di wajah Yudi, "Tenang saja Ayah, aku tidak akan masuk ke perusahaan saingan kita. Aku tidak selicik itu. Rencana ini berhubungan dengan wanita dan kesenangan."
"Kau harus bertanggung jawab sampai Dimas siap. Selama itu, kamu harus menjaga sikapmu. Aku akan mengawasimu, Bimasena Caraka"
"Silahkan, Ayah"
"Minggu depan Dimas akan masuk ke perusahaan ini sebagai wakilmu. Aku tidak mau mendengar kamu membuat masalah dengan adikmu"
"Oke"
"Aku serius, Bima." Kata Yudi menekankan dengan suara lebih tegas.
"Tenang saja Yah. Cukup sekali aku merasakan kesalnya tidak bisa menonjok orang yang menonjokku"
Yudi menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum berbicara lagi, "Bagus. Ibumu menyuruhmu datang ke rumah untuk makan malam."
"Oke"