"beli saja kenapa" keluh Bima pada Andini yang sedang berdiri di bagian minuman dingin, berpura-pura memilih-milih padahal matanya berkali-kali melirik bagian roti. Andini sedang menunggu jam menunjukkan pukul 9 dan promosi beli dua bayar satu dimulai.
"ini namanya hemat, Bima."
"kenapa harus hemat kalau punya uang. Sudahlah, beli saja. Toh yang bayar juga aku"
Andini menangkap lengan Bima, mencegah langkahnya "tunggu sebentar lagi. 15 menit lagi"
Bima akhirnya mengalah namun wajahnya masih kesal. Andini tersenyum lebar, mencoba membuat Bima lebih santai.
"kalau merengut seperti itu tidak cakep lagi lho Bim" goda Andini sambil menoel-noel lengan Bima.
"tidak kreatif."
Andini nyengir lebar, "kalau gitu..." ponsel Andini bergetar di saku jins-nya.
Andini terdiam, ekspresinya langsung sedih. Andini memberikan ringtone itu untuk satu orang spesial.
Bima mengusap rambut Andini, "angkat sana. Dari Reza kan?"
Andini mengambil ponselnya dan menekan tombol hijau, "hallo, assalamu'alaikum"
"wa'alaikumsalam. Dy, kamu di mana?"
"di luar" jawab Andini pendek dan cepat.
Andini tidak bermaksud begitu dingin pada Reza tapi dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. Semua kesedihannya yang sudah pudar kembali lagi.
"Dy, bisa kita berbicara? Tolong. Aku ada di depan florist-mu."
Nafas Andini tercekat. Reza ada di Surabaya? Benarkah? Jika saja tidak sedang ada masalah di antara mereka, Andini pasti sudah senang sekali.
"oh..."
Reza menarik nafas di seberang sana, "Andy, aku tahu kamu marah tapi tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Apa perlu aku menjemputmu? Kamu di mana?"
"tidak perlu. Aku yang pulang." Andini memutuskan telfon Reza dan menoleh ke Bima "Reza ada di depan florist. Aku mau pulang"
"aku antar"
"tidak perlu, aku naik taksi saja. Tolong beli sisa belanjaannya dan tunggu roti-nya sampai di diskon" kata Andini dengan tegas.
"oke"
Andini melihat Reza yang berdiri bersandar pada mobil-nya. Dia memakai celana jins dan kaos berwarna hijau tua. Lelaki itu langsung tegak berdiri begitu Andini keluar dari taksi. Reza menghampiri Andini, hendak menyapa Andini tapi Andini menghindarinya dan berjalan ke pintu kecil menuju rumahnya.
Andini membiarkan pintu terbuka, meminta Reza mengikutinya. Andini duduk di kursi yang ada di beranda rumahnya dan Reza duduk di kursi yang lain. Andini mem-fokuskan matanya pada taman kecilnya yang indah.
"Andy.... Aku minta maaf." kata Reza memecah keheningan dengan suara rendah, seksi dan tenang.
Andini tidak mengatakan apapun, melirik saja tidak. Reza mengerti Andini tidak mungkin semudah itu memaafkan dirinya setelah apa yang dilakukannya seminggu yang lalu. Namun dia punya alasan sendiri.
Reza memperhatikan Andini, tunangannya memang diam tak bersuara namun pundak dan dadanya naik -turun dengan cepat. Dia juga mengerjap-ngerjapkan matanya. Reza tahu dengan pasti Andini akan menangis, dan itu membuat Reza merasa begitu kejam.
"Andy, jangan menangis..." Reza mengulurkan tangannya untuk membelai pipi Andini tapi Andini menampiknya kasar.
Andini menoleh ke Reza. Wajahnya menahan tangis tapi semburat marah tergambar jelas di sana "kenapa aku tidak boleh menangis? Aku berhak untuk menangis saat tunganku mengusirku pergi padahal aku sangat ingin bertemu dengannya."
![](https://img.wattpad.com/cover/13045106-288-k283618.jpg)