"Ada perlu apa ya?" tanya Andini dengan suara dan senyum tidak ikhlas.
"Begitu ya caramu berbicara dengan klien terbesarmu? Berapa nilai kontrak setiap kali ada acara di Bumi Buildings?" tanya Bima sambil menaikkan alis kanannya arogan.
Andini menarik nafas pendek. Sialan. Sesuai tebakannya, setelah mengetahui fakta bahwa dirinya pemilik florist Violeta, Bima tidak akan melewatkan kesempatan sekecil apapun untuk menganggunya. Seperti saat mereka SMA dulu.
"Sepertinya tidak ada yang bisa membuat Bumi Buildings mempertahankan kontraknya dengan Violeta"
"Kamu tidak bisa seperti itu!" sergah Andini cepat.
"Alasan apa yang harus membuat kontrak itu terus dilanjutkan?"
Andini sudah akan menjawab tapi menutup mulutnya. Dia mendapati semua yang ada di florist, pegawai maupun pelanggan, melihat kearah mereka. Mereka semua tertarik pada Bima tapi mulai tertarik dengan isi pembicaraannya dan Bima.
Andini memindahkan bunga - bunga yang tadi sedang dia rangkai ke pot. Untung saja dia tidak sedang melayani pesanan langsung. Andini tidak pernah mengecewakan pelanggan dan tidak akan memulainya hanya karena arogansi kanak - kanak Bimasena yang tidak menghilang meski umur sudah bertambah.
"Kalau tidak keberatan, bisakah kita bicarakan ini di tempat yang lebih privat?" tanya Andini dengan mode profesional.
Bima mengangguk, "Di restoran mana?"
"Tidak perlu di restoran. Ikut aku."
Bima mengikuti Andini yang berjalan ke arah pojok ruangan. Dia tidak menyangka kalau di sana ada pintu. Pintu itu tersembunyi dengan rapi karena memiliki warna yang sama dengan tembok kayu dan di sekelilingnya ada banyak bunga. Sebuah pintu kamuflase.
Andini membukakan pintu kamuflase itu, "Masuk"
Bima melangkah keluar dari toko dan berhadapan dengan tembok yang diplester semen tak rata. Andini mendorong Bima ke kiri sampai mereka berada di luar jangkauan pintu. Bima tidak mengerti, apakah mereka akan berbicara di gang itu? Andini menutup pintu dengan knop yang ada di dalam, setelah mencapai sudut 30o, dia menutupnya dengan knop yang ada di luar. Begitu pintu tertutup, mata Bima menangkap warna - warna alam dan sinar matahari yang terang.
Tempat itu seperti surga kecil dengan karpet rumput hijau yang berkilau karena cahaya matahari dan tetesan air dari penyemprot otomatis. Bunga beraneka warna yang bermekaran menjadi ornamennya. Pohon besar dengan ayunan yang digantung pada ranting terkokohnya menjadi suatu keunikan tersendiri. Taman itu dibelah oleh jalan setapak kecil terbuat dari batu hitam yang tersusun rapi menuju cottage kayu mungil dengan warna coklat natural.
Berandanya memiliki dua kursi dan satu meja di tengahnya dengan tanaman menjalar di sisi kanan tiang beranda. Tanaman merambat itu mencapai setengah dari sekat kayu yang sepertinya menyembunyikan sesuatu di baliknya. Atapnya terbuat dari genteng berwarna merah. Semua sederhana tapi begitu cantik.
"Ini apa?" tanya Bima yang masih takjub dengan oasis di tengah panasnya Surabaya yang seperti di gurun pasir.
"Rumahku."
"Wow... keren."
"Thanks. Kamu ingin duduk di luar atau di dalam? Di dalam sempit, mungkin saja kamu tidak merasa nyaman"
"Tenang saja, aku tidak memiliki fobia ruang sempit"
Andini mendengus "Syukurlah kalau begitu" katanya sambil memutar knop pintu kayu.
Bima melongok tak sabar ke dalam rumah mungil Andini. Begitu masuk dia melihat meja berbentuk kotak berukuran 1m x 1m dengan taplak meja berwarna ungu muda berhias bordiran bunga lavender ungu tua di setiap sisi yang menjuntai. Dua kursi kayu sederhana berwarna putih menjadi pelengkap. Meja itu menjadi pemisah ruang antara pintu depan dan dapur kecil yang rapi dengan dominan warna hitam.
