"Ibu lihat kamu ceria sekali, An" kata Matahari dengan pandangan kepo.
Andini memegangi pipinya, "Oh?"
"Ada apa? Ada apa?" tanya Matahari dengan heboh, seperti anak sekolahan yang ingin mendengar gosip baru.
"tidak ada apa-apa kok Bu..." jawab Andini malu-malu.
"Eh... ayolah, masa tidak mau bercerita ke Ibu sih? Reza ya?" desak Matahari.
"Andini cinta Reza, Bu. Andini bersyukur bisa bertemu dan mencintai Reza. Tanpa dia, Andini tidak tahu ada di mana dan dengan keadaan seperti apa saat ini." Andini memegang tangan Matahari dan menempelkannya di pipi "Tanpa Reza, Andini tidak akan ada di sini, tidak akan bersama Ibu yang seperti Ibu Andini sendiri. Aku sayang sekali sama Ibu. Sebesar rasa sayang Andini ke Mama."
Matahari meneteskan air mata, "Ibu juga sayang sama kamu, Andini." Matahari meraih wajah Andini, mencium dahi kemudian kedua pipinya "Ibu sudah menganggap kamu seperti putri Ibu sendiri. Ayah juga sangat menyayangi kamu. Riska menganggap kamu sebagai kakaknya. Kami semua sayang kamu, An."
Andini menangis, "Ibuu... Andini jadi nangis deeh"
Matahari tertawa di sela tangisnya, "Ya sudah. Kita nangis bersama saja"
Bahtiar lah yang bingung saat melihat istri dan calon menantunya mengompres mata mereka yang bengkak dan merah saat dia pulang dari kantor.
Malam itu, Andini menginap. Dia, Matahari dan Bahtiar banyak mengobrol. Kebanyakan soal pernikahan. Cobaan sebelum dan sesudah pernikahan.
"Di pernikahan itu, keduanya harus bahagia. Kompromi sangat penting, sama pentingnya seperti komitmen. Menjaga lebih sulit daripada memulainya. Kalian sudah bersama selama 8 tahun, sudah banyak yang kalian alami. Perubahan pasti terjadi tapi asalkan ada keyakinan di hati untuk selalu bersama, itu tidak akan menjadi masalah. Bahagia itu sederhana, dengan mensyukuri yang sudah ada."
Bunga tersenyum melihat Bima yang akur dengan Dimas. Bima tiba-tiba datang, menginap dan setelah sarapan meminta Dimas untuk pergi dengannya. Bunga sudah sangat khawatir, dia mengira Bima marah pada Dimas tentang rapat dengan Hotel Vicent. Bunga tahu tentang rapat itu dan marah besar pada Yudistira namun Yudistira tetap kekeuh dengan keputusannya.
Bunga tidak menyangka Bima memanggil Dimas untuk mengajarinya, bukan menghajarnya. Dimas mendengar dengan sangat baik, dia terlihat begitu antusias. Mereka terlihat seperti kakak-adik yang rukun. Tangan besar menyelinap di pinggang Bunga. Bunga tidak terkejut, dia mengenal baik tangan itu. Tangan suaminya.
Bunga menghadap Yudistira, mengelus dadanya "Kamu tahu akan begini?"
"Aku bukan hanya nama di atas kertas, sayang. Aku Ayah mereka. Aku memperhatikan mereka. Bima keras kepala tapi dia melakukan apapun untuk keluarga." Yudistira tersenyum saat melihat wajah syok Bunga "Aku merampas mimpinya, tentu saja aku memperhatikan itu"
"Oh... Yudi" Bunga memeluk Yudistira "Aku minta maaf pernah meragukan kamu Ayah yang hebat"
Yudistira membalas pelukan Bunga "Aku pernah salah, sayang. Aku pernah menjadi ayah yang payah. Suami yang payah juga"
Bunga menggelengkan kepala di dada Yudistira "Kamu sempurna untukku, sempurna untuk anak-anak. Manusia sempurna dengan kesalahannya, kan?"
Yudistira mencium puncak kepala Bunga, "Ya sayang."
Bunga mendongak, meraih leher Yudistira dan menariknya turun untuk memberikan ciuman. Yudistira mengerang dan mencium Bunga lebih dalam. Mereka lupa kalau sedang berada di depan pintu kamar Dimas.