Bima benar-benar menerapkan pepatah dike'i ati ngerogoh rempelo. Kebaikan dan keramahan Andini membuatnya jadi ngelunjak. Dia merasa bebas datang ke rumah Andini. Kebanyakan untuk minta kopi dan makan. Porsi makan Bima yang tidak sedikit itu mempengaruhi keadaan domestik Andini. Sekarang kulkasnya lebih banyak di isi udara dingin daripada bahan makanan.
"Malam ini masak apa?" tanya Bima yang duduk di kursi meja makan. Di hadapannya sudah ada laptop dan berkas-berkas pekerjaan.
"Sayur bening, perkedel jagung dan tempe goreng" jawab Andini datar, ingin menunjukkan pada Bima bahwa dia tidak senang.
"Oo... Makanan tradisional malam ini" tanggap Bima tidak keberatan.
Andini menarik nafas panjang lalu berbalik melihat ke arah Bima yang ternyata sedang melihat ke arahnya. Dia tiba-tiba kehilangan keberanian sehingga berbalik lagi. Andini melihat kulkasnya yang kosong.
Kamu harus melakukannya, Andini. Demi kelangsungan hidupmu.
Andini berbalik lagi, Bima masih melihat ke arahnya. Dia mengumpulkan udara bersamaan dengan mengumpulkan keberanian. Mata coklat terangnya menatap langsung ke mata hitam Bima.
"Bima, aku tidak bisa memberimu makan lagi." Kata Andini dalam satu nafas.
"Kenapa?"
Cara Bima yang bertanya seperti seorang anak kecil polos membuat emosi Andini terpancing. Semua rasa tidak enaknya menghilang begitu saja. Yang benar saja, masa dia tidak merasa.
"Porsi makanmu membuat kulkasku kosong. Aku tidak sekaya pemikiranmu."
Andini mengabaikan wajahnya yang panas. Dia tidak pernah membicarakan masalah keuangannya pada orang lain. Topik itu terlalu pribadi dan sensitif.
"Tapi kalau kopi... aku masih bisa memberimu kopi" tambah Andini dengan suara bergetar karena masih merasa malu.
"Sorry." Kata Bima yang membuat Andini kaget. "I will pay"
"Huh?"
Bima mengeluarkan dompet dari tas kerja yang diletakkan di kaki meja. Dia membuka dompet armani hitamnya, mengambil satu kartu diantara kartu emas dan hitam. Bima meletakkan kartu itu di meja, mendorongnya ke ujung meja lain yang dekat dengan Andini.
"Kamu bisa memakai kartu itu untuk membeli bahan makanan yang kita makan."
Andini merasakan wajahnya memanas karena sebab lain. Marah.
"Aku bukan... urrrgggh....singkirkan kartu itu. Kita sudah sepakat tentang kopi jadi hanya kopi yang aku berikan padamu."
Bima tertawa dalam hati. Kalimat yang dikeluarkan dengan polos itu memiliki makna lain yang lebih mesum di otaknya. Tentu saja dia tidak akan mengatakannya pada Andini.
Andini akan melempar Bima dengan tempe jika dia tidak segera menyingkirkan kartu debit yang melukai harga dirinya. Dia tidak menyangka Bima menganggap dia meminta uang darinya. Demi tuhan, dia hanya ingin lelaki itu tidak minta makan lagi.
"Tolong jangan salah faham, Din. Aku sedang minta tolong padamu saat ini"
Tangan Andini yang hendak mengambil tempe berhenti, "Huh?"
"Aku tinggal sendiri di apartemen. Aku selalu makan di luar dan sepertinya itu membuatku tidak begitu sehat." Bima mengusap perutnya yang rata "Jadi aku minta tolong padamu, satu waktu makan saja. Pretty please, with a cherry on top"
Andini jijik mendengarnya dan ekspresi Bima membuatnya ingin muntah, bukannya prihatin.
"Oke. Oke. Aku tahu. Hentikan itu" pinta Andini dengan serius.