1. Mawar

4.3K 392 109
                                        

AKHIR pekan membentang di hadapan, dingin dan kosong. Ji Kara berdiri di antara jejeran bunga, mengamati orang-orang yang tidak berencana untuk terjebak di bawah curah hujan, dari balik dinding kaca. Lacewood Flower, tempatnya bekerja selama hampir dua tahun. Sudah jam tiga sore, tapi belum ada satu pun pelanggan yang datang. Hari yang buruk, pikirnya. Kara selalu menganggap hari-harinya terlalu sengsara, hidupnya merana, jauh berbeda dari deretan kisah romantis novel online yang dia baca hampir setiap hari.

Dua puluh lima tahun usianya, lajang yang selalu gagal punya pacar, bermimpi punya pasangan CEO tapi tak pernah kesampaian. Jangankan CEO tampan, pria sekelas Park Chanyeol saja—pemilik kedai ramen di pasar Gwangjang—tidak bisa dia dapatkan, padahal Kara sudah mengincar Chanyeol sejak usianya masih belasan. Tepat saat Kara merayakan ulang tahun yang ketujuh belas, dia berniat mengaku pada Chanyeol tentang perasaannya selama ini. Sayangnya Kara tidak punya keberanian, kisahnya pun pupus sebelum dimulai.

Menyedihkan.

Lima menit kemudian, suara gemerincing dari lonceng yang sengaja digantung di pintu memecah keheningan. Kara menoleh, membungkuk, lalu tersenyum pada calon pembeli yang baru saja muncul di muka pintu. Mengenyampingkan semua kesialannya, Kara berakting seramah mungkin, berlagak menjadi gadis ceria yang tidak punya beban pikiran.

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Kara menyapa ramah, tapi yang disapa hanya sibuk menyingkirkan butiran air langit yang menempel di mantel cokelat muda sebatas lutut yang dikenakannya.

Kara menghela napas panjang, berulang-ulang, menunggu. Mengabaikan calon pembeli bukanlah keputusan baik, apalagi kalau pemilik toko mengetahuinya. Gaji Kara pasti dipangkas.

"Aku ingin membeli bunga untuk ibuku."

Pria itu akhirnya menjawab sambil mengedarkan pandangan, lalu melihat Kara yang kedapatan tengah sibuk memandanginya. Dia lumayan tinggi, mungkin hampir 180 senti, dengan biji mata kombinasi dari hamburan Rayleigh dan melanin—merah kecoklatan, surai hitam pekat, bangir, kulit putih susu. Meski tidak terlalu tampak seperti pria eropa sesungguhnya, namun Kara bisa pastikan, kalau salah satu leluhur pria itu berasal dari benua biru. Sepakat, pria itu tampan, terpahat nyaris tanpa cela.

Kemeja putih dan jas hitam di balik mantel terlihat mahal, begitu juga dengan jam tangan yang mengintip dari ujung lengan kemeja dan sepatu hitam mengkilapnya tampak elegan. Air mukanya datar, dingin, pandangannya begitu jumawa. Secara keseluruhan, sudah jelas pria itu pastilah kaya raya, sombong, tidak peduli pada bumi yang dipijaknya, apalagi pada pelayan toko seperti Kara.

"Ah, ibu Anda, ulang tahun? Atau ini ulang tahun pernikahan?"

Pria itu tidak menjawab, dia kembali sibuk memperhatikan toko, menjelajah tiap bagian dari bangunan kubus berpelitur sewarna pasir. Vas putih besar berisi bunga berjejer rapi di atas meja kaca, mengelilingi hampir semua bagian dinding toko. Ada puluhan jenis bunga di toko itu, semuanya masih segar, wanginya menyeruak, memenuhi tiap sudut ruangan.

"Mawar merah, bagaimana?" Kara menawarkan. Dia mengikuti calon pembelinya yang mulai melangkah mendekati deretan lily putih, sebelah kanan dari meja kayu yang menjadi tempat Kara merangkai bunga, di bawah meja ada laci-laci kecil untuk menyimpan uang.

"Apa mawar merah cocok untuk dibawa ke pemakaman?"

"Oh! Ibu Anda, sudah—maafkan aku, aku benar-benar,"

"Tidak masalah."

Kara mengangguk, berusaha bersikap biasa. Dia kembali tersenyum ramah, lalu menunjuk satu rangkai bunga yang paling dekat dengannya.

"Kalau begitu, mawar putih saja, bagaimana?"

Alis tebal pria itu mengernyit, pandangannya suram, memandangi Kara tak suka. Sekejab bulu-bulu halus di tengguk Kara meremang. Sambil menyembunyikan jemarinya di balik kantung mantel, pria itu berkata:

Secret of The SwainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang