Lilin Putih

505 48 24
                                    

Habis dilalap si jago merah. Padam diterpa semilir angin sejuk. Mati hilang ditelan sumber kehidupan, air. Hanya itu. Hanya itu yang akan aku alami di setiap hariku, setiap jam, menit, bahkan detik.

Aku, si sumber cahaya. Aku menerangi malammu yang kelam, sunyi, dan kadang sepi. Aku siap menjadi penyelamatmu dalam segala situasi. Aku sakit saat aku dibuang, namun, tetap aku tak jera melakukan semua pengabdianku. Akulah si lilin putih yang kecil.

Hari ini, aku berdiri di tempat yang sama dengan tempatku dari minggu lalu. Aku tidak dihiraukan oleh mereka. Aku hanya diam, menatap ke arah mereka yang selalu tampak bahagia. Aku hanya dapat tersenyum miris, membandingkan semua yang kulihat dengan semua yang terjadi dalam hidupku.

Aku tinggal di sebuah rumah kecil yang terdiri dari tiga manusia dan beberapa perabotan yang bisa aku prediksi memiliki harga yang relatif murah sehingga berdasarkan fakta tersebut, aku dapat menyimpulkan bahwa mereka tergolong keluarga yang tidak mampu. Si kepala keluarga -yang kalau aku tidak salah bernama Verio Ferno atau Rio- selalu sibuk pulang pergi menjadi buruh dari pertama matahari merangkak naik ke permukaan sampai sang surya turun kembali ke peraduannya dan si bulan mulai menampakkan batang hidungnya. Istrinya yang aku ketahui memiliki nama lengkap Preina Leify atau Ify sibuk kesana-kemari melakukan segala macam kegiatan rumah tangga, seperti menyapu, mengepel, mengelap kaca, dan memasak sambil menunggu kepulangan sang suami. Yang terakhir, seorang anak kecil yang sangat menggemaskan -setidaknya menurutku demikian-, Saichy Fevia atau sering dipanggil Via oleh kedua orang tuanya. Walau anak yang berumur tiga tahun ini termasuk tipe anak yang suka merengek dan manja, Via adalah anak yang periang, tidak bisa diam, serta memiliki paras yang cantik, sama seperti ibunya.

Ah, aku jadi teringat sebuah cerita tentang Ify yang pernah kudengar. Tentu saja, dia tidak bercerita denganku, tapi dengan sahabatnya.

Mentari pagi mulai terlihat memaksa masuk melalui celah-celah jendela. Cahaya tersebut berhasil mengusik ketenangan gadis manis itu. Gadis itu -terpaksa- bangun dari tidurnya. Ify, gadis itu, menoleh ke arah jam. Terbelalaklah matanya saat melihat jam sudah menunjukan pukul 06.45 WIB atau 15 menit lagi sebelum jam masuk sekolah. Ify segera berlari mengambil keperluannya, membersihkan diri, dan berlari menuju sekolah karena memang jarak rumahnya dengan sekolah cukup dekat.

Sesampainya di sekolah, gerbang hampir tertutup. Ia hampir terlambat. Ia berhasil masuk tepat waktu. Namun sayangnya di depan kelas, sudah berdiri guru sejarahnya, Ms. Reina Baskhiel dari Bandung, yang terkenal akan 'kekejamannya'.

"Kenapa kamu terlambat datang, Preina Leify, si ratu sekolah?" Ms. Rein menginterupsi.

"Saya terlambat bangun, Miss. Maafkan saya."

"Oh, jadi kamu terlambat bangun. Baiklah, silakan masuk.." Ify baru mengangkat kakinya sampai suara Ms. Rein kembali terdengar.

"Eitss, saya belum selesai berbicara. Jadi, kamu boleh masuk kalau kamu berhasil membawakan saya makanan yang tawar dan kembali dengan atribut MOS. Ingat makanan bukan minuman." Ms. Rein menyunggingkan senyum sinisnya. Matanya tampak seakan berkilat-kilat.

"Tapi, Miss,.." Ucapannya terpotong.

"Oh, iya, jangan lupa bawakan saya buku novel biografi pahlawan nasional. Sudah cukup negosiasinya, Preina Leify?" sindirnya.

"Iya, Miss." Ify segera menghilang dari sana.

Beberapa saat kemudian, ia kembali sesuai dengan perintah Ms. Rein.

"Oke. Baik sekali. Silakan gunakan penampilan ini sampai pelajaran terakhir selesai." Dengan tenang, Ms. Rein meninggalkan Ify yang sudah mengucapkan sumpah serapahnya.

StorietteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang