EMPAT BELAS

6K 502 13
                                    


"Pasien sudah meninggal bu. Jam kematiannya pukul 20.40" jelas seorang perawat,"Yang sabar ya bu"

Kalimat berikutnya tak ada lagi yang hinggap di telinga Amina. Ia tergugu meraih jasad bunda ke pelukannya.

Tak berhenti menciumi pipi beliau meminta bunda untuk bangun dengan suara lirih dan air mata yang tak berhenti mengalir.

Gerard tidak pernah menghadapi situasi seperti ini. Orang terdekatnya belum ada yang meninggal. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya Gerard mendekati perawat dan menanyakan bagaimana prosedur berikutnya.

Perawat menjelaskan dengan ringkas yang diangguki oleh Gerard. Kemudian ia merogoh sakunya mengambil handphone menghubungi supir yang tadi ia tinggal di parkiran.

"Tolong temani dia pak..." ucap Gerard ketika mang Yadi masuk ke ruangan,"Saya mau mengurus administrasi dulu"

Walau bingung, mang Yadi mengiyakan. Ia tadi disuruh ke kamar ini, lalu sekarang ia disuguhi pemandangan perempuan yang sedang menangisi jenazah seorang wanita tua. Mang Yadi kenal dengan Amina karena sering mengantar bos dan sekretarisnya itu meeting di luar kantor. Tapi ada hubungan apa mereka? Selama ini ia bisa lihat kalau keduanya hanya bersikap layaknya bos dan pegawai biasa. Tapi kok sekarang bosnya mengurus administrasi segala??

Gerard datang tak lama kemudian. Beberapa staf RS tampak membantu proses pemindahan jenazah ke ambulance. Amina hanya mengikuti langkah Gerard yang menuntunnya berjalan menyusuri lorong rumah sakit.

Ia bagai boneka hidup. Pucat. Masih terus meneteskan air mata, tapi tanpa jeritan histeris membabi buta. Jiwanya melayang layang dan tidak memperhatikan sekitarnya lagi.

"Sudah menelpon saudara yang lain?" tanya Gerard

Amina menggeleng,"Hanya kami berdua"

"Apa ada orang di rumah untuk membantu persiapan menyambut jenazah?" tanya Gerard lagi

"Mbok Yanti" sahut Amina pelan

Gerard segera meminta mang Yadi yang berjalan mengekori mereka untuk duluan ke rumah Amina. Ia juga menelpon pekerja yang ada di rumah besarnya untuk datang membantu.

Amina menyebutkan alamat rumahnya sebelum Mang Yadi berangkat.

Gerard menghela napas memperhatikan Amina yang tak lepas memandangi Bunda yang saat ini sedang diangkat ke ruang belakang ambulance. Ia tidak tega meninggalkan gadis ini sendirian.

'Paling tidak sampai mereka tiba di rumah duka,' Gerard membatin.

Amina naik ke ambulance diiringi Gerard yang duduk di sampingnya. Jenazah Bunda terbujur di hadapan mereka. Perlahan, mobil pun berjalan diiringi sirine yang bergaung membelah malam.

Terkadang rencana melenceng dari kenyataan. Sampai pemakaman berlangsung, Gerard masih berdiri di samping Amina. Ia seakan menjadi bagian dari keluarga inti karena mengatur segala tetek bengek persiapan sampai akhirnya pemakaman selesai dengan lancar.

Dari kejauhan Gerard melihat rombongan dari kantor datang. Segera saja ia menjauh dari Amina, berbaur di barisan belakang pelayat. Ia tidak mau menciptakan gosip jika stafnya melihat ia yang seakan mendampingi Amina.

Doa dipanjatkan dan diamini semua yang hadir. Ketika satu persatu pelayat meninggalkan makam, Amina ditarik lembut oleh mbok Yanti untuk berdiri. Ia menurut dan berjalan pelan menuju mobil.

Bunda...selamat jalan...

Maafkan Amina Bunda...

Amina banyak salah...

Tapi Amina sayang sekali dengan Bunda

Amina akan berusaha jadi ladang pahala tak terputus untuk Bunda

Give Love A TryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang